• Posted by : Yuuki Rabu, 30 Desember 2015


    Kingitsune
    (Rubah Emas)
    †††
    By : Ayuni Yuukinojo
    †††
    Naruto © Masashi Kishimoto
    †††
    Pair : ?/Naruto
    Warning :
    Typo, OOC, EYD berantakan, menjurus Shonen-ai,

    Malam itu bulan purnama bersinar dengan sangat terang. Langit dipenuhi oleh bintang yang bertaburan. Disebuah kastil megah milik keluarga keturunan dewa itu seorang wanita untuk pertama kalinya melakukan proses yang bernama persalinan. Didekatnya ada seorang miko dengan kimono putihnya tengah berusaha membantu peroses persalinan tersebut. “Sedikit lagi Kaguya-sama. Hamba sudah dapat melihat rambut pirangnya.”
    “Hime, berusahalah. Jangan menyerah.” Disamping wanita yang dipanggil Kaguya tersebut tampak seorang lelaki dengan hakama khas onmyoji tengah menggenggam erat tangan kanan wanita itu. Kesembilan ekor oranyenya bergerak dengan gelisah tak jarang tampak cahaya kemerahan yang mengalir dari tangan lelaki itu menuju tubuh Kaguya.
    .
    Dua orang pemuda bersurai putih dan merah tengah menunggu dengan gelisah didepan sebuh ruangan. Mereka untuk pertama kalinya merasakan kecemasan yang mendalam. Berjalan hilir mudik bak setrikaan. Tak jarang yang berambut panjang mengacak rambut frustasi hingga rambutnya berantakan sementara pemuda yang satunya hanya berjalan-jalan sambil membisu.
    “Oekkk~ oeekk~” tangisan pertama bayi terdengar dari dalam ruangan yang mereka tunggui. Dengan segera mereka memasuki ruangan tersebut walaupun belum diberikan izin.
    “Ibunda!?” seru mereka bersamaan. Wajah putih pucat mereka menunjukkan warna terkejut melihat seorang bayi berlumuran darah dengan satu ekor keemasan yang masih lemas. Bayi mungil itu masih menangis. Tapi segera terhenti ketika seorang lelaki bersurai pirang berpakaian Onmyoji mendekapnya. Dengan telaten lelaki itu membersihkan tubuh sang bayi sementara miko yang membantu proses persalinan tengah merawat sang ibu. Bayi itu tertawa riang saat ia berhasil menggenggam jari dari ayahnya. Ekor pirangnya yang semula hanya tergeletak lemas mulai aktif bergerak.
    “Kaguya. Anak kita kelak akan memberikan kebahagiaan bagi seluruh dunia.” Lelaki itu menyerahkan sang bayi pada si ibu yang kini tengah duduk. Wanita itu meraihnya dengan lembut, wajahnya dipenuhi oleh kebahagiaan. Untuk pertama kalinya ia merasa beruntung diciptakan didunia ini.
    “Dengan kekuatan anda yang ada padanya, anak kita akan menuntun seluruh mahluk dunia ini kepada kebahagiaan.” Ujar wanita itu sembari mencium kening si bayi. Anak itu mencoba meraih tanduk yang ada di atas kepala ibunya sambil mengumandangkan tawa bahagia.
    “Hagoromo, Homura perkenalkan. Adik kalian.” Ujar lelaki tersebut menyambut kedua pemuda yang sedari tadi hanya menonton sambil berdiri.
    Tak lama setelah miko yang membantu persalinan keluar dengan segala perlengkapannya, kedua pemuda itu akhirnya mendekat. Duduk disisi sang ibu berhadapan dengan lelaki pirang satu-satunya disana. “Namanya siapa Onmyoji-sama?” putra tertua dari keluarga Ootsuki itu memulai pembicaraan. Matanya tak bisa beralih dari sosok mungil didekapan ibunya, apalagi saat itu melihat mata biru sapphire indah yang berbinar jenaka.
    “Namanya Haruto Kingitsune.” Ucap lelaki pirang itu sambil membelai surai pirang anaknya. Tak jarang anak itu tertawa geli saat telinga rubahnya yang sensitive bersentuhan dengan tangan besar sang ayah. Mata birunya memandang sang ayah lama sebelum beralih pada dua pemuda bersurai putih dan merah didekatnya. Tawa jenaka sekali lagi ia berikan kepada dua orang kakak barunya.
    .
    .
    Bertahun-tahun berlalu, bayi yang dilahirkan dengan penuh berkah dari sang bulan kini telah tumbuh menjadi sosok anak yang sangat manis dan periang. Disetiap langkahnya mengumandangkan tawa bahagia yang menulari seluruh mahluk hidup didekatnya. Dia sering berjalan-jalan dihutan. Menyusuri pepohonan bersama teman-teman kecilnya. Terkadang dia juga mengunjungi sebuah desa kecil untuk menjenguk nenek tua renta yang tinggal seorang diri dipondoknya.
    Dalam pertumbuhannya, semakin lama kekuatannyapun semakin besar. Dapat dilihat dari jumlah ekornya yang kini telah mencapai empat buah. Meski beberapa orang merasa takut kepadanya karena keberadaan ekor dan telinga rubahnya, dia tetap saja menebar senyum dan bahagia. Seperti kata orang tuanya dulu. Dia akan membawa kebahagiaan bagi seluruh mahluk yang ada didekatnya.
    .
    Siang ini dia tengah duduk diatas pohon sakura yang tengah bermekaran. Rambut pirang keemasannya yang sudah sepanjang pinggan berkibar pelan bersama hembusan angin. Mata biru indahnya menatap dengan tertarik interaksi kedua kakaknya yang kini tengah berlatih di tanah lapang didekatnya.
    Jujur saja, hubungannya dan kedua kakaknya akhir-akhir ini tidak begitu baik. Bukannya ia sering bertengkar atau berkelahi. Tidak. Dia terlalu baik hati untuk memulai sebuah pertikaian. Hanya saja sejak beberapa tahun yang lalu kedua kakaknya mulai menjauhinya. Dia selalu bertanya pada sang ibu kenapa kedua kakaknya bersikap dingin padanya. Tapi sang ibu hanya memberikan senyum lembut sembari mengelus kepalanya. ‘Kedua kakakmu hanya terlalu lelah karena kesibukannya. Suatu saat mereka pasti akan menemuimu.’ Begitu ucap ibunya setelah ia bertanya untuk yang kesekian kalinya.
    Ia juga selalu bertanya kenapa dia berbeda dari ibu dan kakanya. Rambutnya berwarna keemasan sangat berbeda dengan kakak dan ibunya. Matanya sebiru langit tanpa awan tidak seperti kakak dan ibunya yang bermata tanpa pupil atau berpola riak air. Di atas kepalanya hanya ada telinga rubah senada dengan warna rambutnya, bukannya dua tanduk seperti milik kedua saudara dan ibunya.
    Ketika ia bertanya ibunya berkata bahwa dia special. Semua yang ada pada dirinya adalah turunan dari sang ayah. Lalu ketika dia bertanya seperti apa dan dimana ayahnya, sang ibu hanya tersenyum kecut dan menjawab ‘jika kau ingin mengetahui seperti apa wajah ayahmu, maka saat kau telah menginjak dewasa berkacalah pada air dibawah bulan purnama, seperti itulah rupa ayahmu. Jika kau ingin menemui ayahmu maka tumbuhlah hingga ekormu lengkap. Saat itu kau akan bisa bertemu dengan ayahmu.
    .
    Ketika menginjak usia remaja, penampilan dari Haruto tak banyak berubah, hanya jumlah ekornya yang kini menjadi enam dan rambutnya yang sudah mencapai mata kaki. Ibunya selalu melarangnya memotong rambutnya. Memotong rambut adalah hal tabu bagi sosok Kitsune seperti dirinya. Kitsune?
    Ya, dia kini sudah tahu siapa atau apa sebenarnya dirinya. Dia adalah sosok Kitsune, siluman rubah yang belum sempura mengingat jumlah ekornya yang belum mencapai sembilan.
    Disuatu siang, kediamanya kedatangan tamu tak diundang. Seekor rubah hitam berekor dua dengan mata merahnya tengah terduduk tepat didepan pintu masuk kastil. Ketika diusir dengan teriakan, mahluk itu tak bergeming, ketika dilempari bebatuan, hewan itu hanya menghindar lalu setelahnya akan berdiam diri kembali ditempat yang sama.
    Kelakuan rubah itu tentunya akhirnya terdengar hingga ketelinga Kaguya dan anak-anaknya. Berbondong-bondong mereka mendatani hewan itu. Ketika mereka berempat telah ada didepan pintu masuk, rubah hitam itu berjalan mendekati sang kepala keluarga.
    “Putri Kaguya. Hamba Yoru diperintahkan oleh Madara-sama untuk menjemput Putra Onmyoji-sama guna melatihnya menjadi sosok ‘Rubah’ yang sesungguhnya.” Ujar rubah yang mengaku bernama Yoru itu dengan menatap lurus pada sosok Haruto yang berada di barisan belakang.
    Mendengar perkataan rubah itu, Kaguya tak dapat menahan air matanya. Putra kesayangannya telah dijemput dan akan pergi meninggalkannya. Ia tak bisa menghalangi mengingat kepergian Haruto adalah salah satu wasiat dari sang suami tercinta. Dalam kesedihannya Kaguya hanya bisa menyetujui. Tak memerlukan waktu yang lama. Tepat pada malam harinya Haruto Kingitsune meninggalkan Kastil Ootsuki menuju Gunung Kurama, tempat para siluman, roh dan ayakasi rubah berada.
    .
    .
    Ketika tiba di Gunung Kurama, yang pertama kali dilihatnya adalah jajaran pohon tinggi dan besar. Ini pertama kalinya ia melihat sebuah hutan dengan pohon raksasa. Tingginya bahkan sampai menyentuh awan. Selain pohon-pohon raksasa, ia juga melihat banyak sekali rubah berkeliaran. Bukan hanya rubah biasa, tapi ada juga roh-roh dan siluman rubah yang hilir mudik. Selama menyusuri hutan, matanya birunya tak pernah berhenti memancarkan kekaguman. Ia seperti merasa disinilah rumahnya yang sesungguhnya.
    Yoru menuntun Haruto hingga memasuki sebuah desa. Desa yang asri dengan rumah-tumah tradisional berjejer rapi lengkap dengan halaman yang dipenuhi pohon buah dan bunga. Jika dihutan tadi yang dilihatnya hanya sosok roh dan ayakasi berbentuk rubah. Maka didesa ini dia melihat ada banyak sosok Kitsune dari yang baru berekor satu hingga lima. Kebanyakan dari mereka berwarna keorangean, hitam dan putih. Sesekai Yoru membalas sapaan dari Kitsune yan menyapanya.
    Pemberhentian Haruto ternyata bukan pada desa tersebut. Yoru masih terus mengajaknya berjalan melewati hutan hingga tiba disebuah air terjun yang besar. Haruto cukup terkejut saat melihat yoru memasuki air terjun dan tak muncul kembali. Tapi tak lama kemudian ia bisa mendengar suara Yoru yang memanggilnya untuk segera menyusul memasuki air terjun besar itu.
    .
    Yang membuat Haruto terkejut ketika membuka mata adalah sosok rubah-rubah besar tengah tertidur disela-sela pohon raksasa. Tak jarang diatara rubah-rubah yang tertidur itu membuka mata dan memandang Haruto penuh minat.
    Rubah besar didal gua? Tidak. Didalam gua itu ternyata ada hutan lagi dengan pohon raksasa memenhi disetiap penglihatan Haruto.
    “Selamat datang di Gunung Kurama.” Suara berat dan tegas mengintrupsi pengamatan Haruto. Didepannya berdiri seekor rubah besar-sangat besar berbulu perak dengan mata merah darah, Haruto dapat melihat kesembilan ekor rubah besar itu yang bergerak lembut dibelakangnya. “Aku Madara, pemimpin di Gunung Kurama ini. Wahai engkau Putra sang Onmyoji, sudikah engkau memperkenalkan diri?”
    “Nama saya Haruto Kingitsune.” Jawab Haruto tegas. Matanya memandang sosok Madara dengan berani, tak ada sedikitpun rasa takut walau tengah dipandang dengan penuh intimidasi oleh seluruh rubah raksasa disana.
    “Hahahahahah… Cukup basa basinya. ” tawa Madara menghentikan tatapan intimidasi dari seluruh rubah raksasa disana. Mendengus pelan, rubah-rubah besar itu kembali menutup matanya, tapi Haruto yakin telinga mereka tetap mengikkuti pembicaraan. “nak, aku mengundangmu kemari untuk melatihmu sesuai dengan wasiat yang diberikan oleh ayahmu.” Lanjut Madara kemudian.
    “Wasiat? Maksuda anda Chichi-ue sudah-”
    “Benar. Dia sudah menuju langit saat kau meinginjak usia empat tahun.”
    “Tapi, Haha-ue berkata bahwa saya masih bisa menemuinya ketika saya telah menumbuhkan seluruh ekor saya. ”
    “Itu benar. Kau bisa bertemu dengannya setelah kau menjadi kitsune berekor sembilan yang sempurna. Oleh karena itu aku memanggilmu kemari untuk melatihmu.“
    .
    .
    Bertahun-tahun berlalu sosok bocah pirang itu kini telah beranjak dewasa. Dengan latihan yang itensif ia telah berkembang sebagaimana mestinya seorang Kitsune. Wajah kekanakannya kini telah menunjukkan tanda-tanda kedewasaan walau tetap saja terlihat manis, ekornya kini telah berjumlah Sembilan bergerak-gerak sesuai dengan kondisi hatinya. Rambut pirang emasnya telah melebihi tigginya sendiri, tak jarang ia menjalin rambutnya kesamping, atau mengikatnya tinggi tapi Haruto lebih senang menggerainya apalagi setelah ia bisa mengendalikan rambutnya untuk menyerang dan bertahan.
    Mata sapphirenya yang dulu bulat berbinar imut kini telah menajam dengan pupilnya yang seperti rubah, dibagian kelopak matanya terhias warna oranye kemerahan mempercantik mata birunya. Kimono yang biru dengan corak bunga sakura dan bulannya membalut tubuh berisi Haruto dengan baik.
    Setelah bertahun-tahun terpisah dari sang ibu akhirnya kini dia bisa pulang, menemui kedua kakak dan ibunya. Ia juga sudah bertemu dengan sang ayah saat ia mendapatkan ekor kesembilannya. Saat itu ia melihat ayahnya tengah terduduk di atas dahan pohon sakura yang besar, tengah menatapnya dengan senyum lembut dan bangga akan keberhasilan putra satu-satunya.
    Ayahnya begitu tampan, rambut pirang ayahnya menjuntai panjang hingga menyentuh air kolam yang ada dibawah pohon sakura itu. Sinar bulan terpantul indah lewat rambut keemasannya. Mata biru ayahnya yang berpupil tajam menatapnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Kesembilan ekor oranyenya bergerak dengan riang. ‘Akhirnya kau sampai juga ke tingkat ini anakku.’ Itu adalah kalimat pertama yang ia dengar dari sang ayah. Kalimat yang penuh akan kerinduan.
    Didahan pohon sakura itu Haruto diberikan banyak sekali ilmu, wejangan dan nasehat serta tugas-tugas yang kelak akan dia emban. Walau sebelumnya ia sempat tak yakin akan bisa menuntaskan semua tugas-tugasnya tapi dengan seluruh kepercayaan yang telah ayahnya berikan ia berhail meyakinkan diri dan hatinya bahwa ketika ia kembali kelingkungan manusia maka saat itulah tugasnya sebagai Kingitsune sang Rubah Emas pembawa kebahagiaan akan dimulai.
    .
    .
    .
    Dunia tempat Haruto dilahirkan tak lagi sama seperti saat terakhir kali ia pergi. Entah sejak kapan kedukaan dan kesengsaraan melanda seluruh negeri. Keberadaan sang ibu pun tak dapat ia rasakan. Ketika ia memasuki pintu kastil Ootsuki ia hanya disambut dengan kedua kakaknya yang sudah tampak menua. Berbeda sekali dengan dirinya yang masih sangat terlihat muda. “Hagoromo-ani-ue, dimana Haha-ue berada?” pertanyaan pertama yang ia ucapkan setelah mendapat salam ‘Tadaima’ dari sang kakak tertua hanya digantung bersamaan dengan ekspresi keduaan yang mendalam.
    Dalam satu hari itu Haruto mendapat kabar yang sangat menyakitkan hati. Ibundanya menghilang setelah meledakkan sebuah desa di sebelah barat kastil. Energy yang ibunya gunakan dipenuhi dengan kegelapan yang besal dari Pohon Shinju. Besar kemungkinan sebentar lagi ibundanya akan membangkitkan iblis Juubi saat bulan purnama merah.
    Selama kepergian sang ibu kedua kakanya sudah mencari berbagai macam cara untuk menyelamatkan dan membinasakan Juubi tapi tak ada cara lain selain menyegel mahluk itu. Tetapi menyegel mahluk sebesar dan sekuat itu tentunya memerlukan kekuatan yang besar pula.
    Pengekstrakan adalah cara satu-satunya untuk memecah masalah tersebut. Haruto mengajukan dirinya sebagai pelaku dalam pengekstrakan tersebut sedangkan kedua kakaknya yang akan mengahadapi Juubi dan menyegelnya.
    Pengekstrakan sangatlah berbahaya bila dilakukan pada mahluk kuat sekelas Juubi, nyawa bisa saja jadi taruhannya. Tapi Haruto tidak mencemaskan hal itu. Seperti yang telah ia katakana kepada Ayahnya. Tugasnya dimulai ketika ia menginjakkan kakinya di tempat kelahirannya. Maka ini adalah tugas pertamanya. Menolong seluruh dunia dan menyelamatkan Ibundanya dari kegelapan pohon Shinju.
    .
    Bulan merah telah bersinar terang. Diahadapan ketiga bersaudara itu berdiri Juubi dengan kesepuluh ekoranya yang bergerak liar menghacurkan daratan. Hagoromo dan Homura mulai melakukan penyerangan sementara Haruto telah mempersiapkan kesembilan wadah untuk pengekstrakan Juubi. Dalam sebuah lingkaran yang terbentuk dari deretan magatama hitam dan putih Haruto berdiri di tengah-tengah. Di hadapannya terdapat angka satu hingga sembilan dimana disetiap angka terdapat hewan-hewan yang berbeda.
    Diangka pertama terdapat tanuki kecil yang Haruto temukan tengah menangisi kepergian ibunya karena serangan Juubi. Di tubuh tanuki tersebut terdapat tulisan yang di baca ‘Shukaku’.
    Diangka kedua terdapat seekor kucing liar dengan tulisnan ‘Matatabi’ yang hampir sekarat karena kelaparan.
    Diangka ketiga seekor kura-kura yang tubuhnya terselimuti minyak Haruto temukan di sebuah pantai yang menghitam. ‘Isonade’
    Diangka keempat seekor kera yang hampir gosong terbakar Haruto temukan sekarat di sebuah hutan yang mengalami kebakaran berkempanjangan. ‘Son Goku
    Diangka kelima ‘Kokuou’, seekor kuda putih yang mati terpenggal akibat peperangan.
    Diangka keenam ‘Saiken’, dia adalah siput kecil yang Haruto temukan disebuah hutan yang masih asri.
    Diangka ketujuh ‘Chomei’, ulat ini Haruto temukan setelah selama berbulan-bulan tidak bisa menjadi Pupa.
    Diangka kedelapan ’Gyuuki’, banteng yang sekarat karena kehilangan bagian bawah tubuhnya akibat ledakan.
    Diangka sembilan ‘Kurama’. Haruto menemukan tubuh rubah kecil ini tergeletak dipintu masuk Gunung Kurama.
    Kesembilan hewan itu Haruto kumpulkan beberapa hari sebelum malam bulan merah. Haruto iba akan penderitaan mereka bersembilan. Dengan kekuatan Haruto ia akan mengekstrak Juubi dan memindahkannya ke sembilan tubuh binatang tersebut.
    Dengan berdiri ditengah lingkaran Haruto membacakan mantra-mantra sementara tangannya terus menerus aktif membuat segel. Seluruh magatama yang berada disekitarnya bersinar kebiruan, angin berhembus meniupkan rambut panjang Haruto yang tergerai menyentuh tanah, kesembilan ekornya bergerak aktif melindungi diri dari serangan yang mungkin saja tiba-tiba datang.
    Tak berselang lama, mata yang terpejam itu terbuka menunjukkan mata biru sapphire yang menyorot tajam pada Juubi yang mengamuk didepannya. Pupil verticalnya bergerak-gerak mengikuti posisi sang Juubi.
    Kedua tangan yang sedari tadi membentuk segel itu tapakan ke tanah dibawahnya bersamaan dengan kesembilan tubuh hewan didepannya bercahaya dan terangkat diudara. Magatama-magatama yang bersinar disana bergerak membentuk tali dan melesat mengikat Juubi didepan sana. “Fuinjutsu : Magatama no Shinseina” ucap Haruto bersamaan dengan sebuah cahaya yang melesat dari arah masing-masing tubuh hewan menuju tubuh Juubi.
    Tubuh Juubi yang diikat dengan magatama-magatama itu tak bisa bergerak banyak. Cahaya yang berasal dari masing-masing tubuh hewan ditempat Haruto menarik paksa kekuatan Juubi dan memindahkannya ketubuh hewan itu masing-masing. Hewan besar berekor sepuluh itu meraung marah, tetapi Hagoromo dan Homura yang berada didekat Juubi dapat mendengar umpatan dan kutukan dari sang Ibu yang berada di tubuh Juubi.
    “Sungguh rendahan! Berani-beraninya kalian mengorbankan adik kalian sendiri! Dosa kalian akan dibawa hingga ke keturunan terakhir kalian!”
    .
    Haruto dapat merasakan tubuhnya melemah. Satu-persatu secara perlahan ekornya mulai berkurang. Bila sampai seluruh ekornya lenyap maka Haruto akan mati.
    Secara perlahan tubuh kesembilan hewan itu mulai berubah dan membesar. Walau tak sebesar ukuran Juubi. Saat cahaya yang menjembatani Juubi dengan kesembilan hewan itu menghilang, tubuh hewan itu kembali menginjak tanah. Masing-masing dari mereka telah memiliki ekor sesuai dengan nomer mereka. “Selamat datang kesembilan Bijuu.” Ujar Haruto sebelum akhirnya terjatuh kelelahan. Magatama-magatama yang sebelumnya mengikat Juubi mulai mengendur dan bergerak kembali kearah Haruto. Membentuk gelang di tangan, kaki dan kalung di leher. Menggunakan kesempatan dengan baik. Hagoromo dan Homura mulai membentuk segel untuk menyegel tubuh Juubi di bulan.
    Juubi berhasil disegel di bulan dan kekuatannya telah dibagi kepada kesembilan Bijuu. Namun kondisi Haruto tak kunjung membaik. Akibat mengekstrakan tersebut ia telah kehilangan kedelapan ekornya. Tubuhnya mulai melemah saat kedua kakanya datang untuk menolong. Namun sayang sekali kekuatan dari kedua kakaknya tak dapat memulihkan kondisi Haruto. Semakin lama tubuh Haruto mulai meredup dan transparan, kesembilan ekor hewan penyegel itu mulai menangis.
    Tepat sebelum tubuh Haruto lenyap sepenuhnya, sesosok manusia bersayap gagak muncul dari langit. Wajahnya tertutup topeng Tengu dan rambut panjanganya diikat satu longgar. Dipinggangnya terdapat sebuah pedang bergagang hitam dengan lonceng yang menggantung di pegangannya. “Aku datang menjemput putra dari Onmyoji-sama.”
    “Siapa kau?”
    “Namaku Shinjirou. Putra pertama Raja Tengu di Gunung Kurama. Madara-sama memintaku untuk membawa kembali Haruto-sama.” Ucap tengu tersebut. Mata merahnya memandang kedua kakak beradik itu dengan tajam lalu beralih pada kesembilan Bijuu yang menangis. Menghela nafas pelan.”Dengan konsidi tubuh seperti itu dia takkan bisa bertahan di tempat ini. Sebelum tubuhnya menghilang sepenuhnya dia harus dibawa kembali ke Gunung Kurama.”
    “Kami sendiri yang akan membawanya.” Homura berkata dengan tegas menatap tajam. “Takkan aku biarkan kau menyentuh adik kami.”
    “Kalian yang terkontaminasi kekuatan pohon Shinju takkan bisa memasuki Gunung Kurama. Dan butuh waktu berminggu-minggu untuk memasukinya secara normal. Cepat serahkan dia sebelum dia menghilang sepenuhnya!” seru Tengu itu tegas. Dia tak bisa membiarkan tubuh lemah Haruto semakin lama berada di dunia ini.
    Dengan berat hati kedua bersaudara Ootsuki itu menyerahkan adiknya untuk dibawa. Dengan lembut Tengu tersebut menggendong Haruto. Membawa tubuh hampir transparan itu terbang diangkasa. “Hei Kau yang diberkahi nama Gunung Kurama. Datanglah jika kau ingin semakin sempurna.” Ujar Shinjirou sebelum menghilang dalam hembusan angin.
    Malam itu adalah malam terakhir Hagoromo dan Homura bertemu dengan sang adik bungsu. Juga malam terakhir sang adik menjejakkan kaki di dunia manusia. Selama abad-abad tubuh lemah Haruto bersemayam di Gunung Kurama sementara jiwa berkelana dari satu tubuh ke tubuh yang lain. Terkada dia muncul sebagai seorang manusia, terkadang sebagai seekor rubah emas kecil yang meminta makanan dan membalas budi dengan sekantung emas.
    Dan saat ini tubuh yang tertidur itu akhirnya membuka mata. Setelah berabad-abad kekuatannya telah pulih dan sekali lagi ia harus berhadapan dengan Juubi atau mungkin ibunya sendiri.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © 2013 - Hyperdimension Neptunia

    My Fanfiction - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan