• Posted by : Yuuki Kamis, 02 Oktober 2014



    Nightmare on Halloween Night
    By : Ayuni Yukinojo
    .,.
    .,.
    Matahari musim gugur mulai turun menuju peraduannya. Di arah sebaliknya sang dewi malam mulai menunjukkan kecantikannya.
    Sedangkan di bawah sana anak-anak tengah berlarian dengan gembira menuju rumah masing-masing. Tawa mengalun riang saat menemukan kostum yang akan mereka gunakan malam ini untuk perayaan.
    Ya. Hari ini adalah perayaan Halloween dan anak-anak sangat menatikannya. Mereka mulai memakai kostum-kostum yang mereka pesan kepada pihak orang tua mereka. Setelah semua persiapan mereka sempura, dengan kostum hantu pesanan dan keranjang di tangan mereka mulai menjalankan perayaan. “Trick or Treat!!” seru mereka dengan gembira.
    .
    .
    Disebuah rumah yang berhiaskan lentera labu berukir wajah menyerakan terdengar seruan seorang wanita yang bernada memperingatkan diiringi dengan jawaban serempak dari dua orang anak. Tak berselang lama, pintu rumah yang berbahan kayu mahoni itu terbuka dan dilewati oleh dua orang anak yang mengenakan kostum penyihir dan werewolf
    Anak dengan kostum penyihir tampak tengah membawa sebuah keranjang di tangannya, rambut pirang ikalnya dijalin dua dengan rapi, topi penyihirnya mengerucut berwarna ungu berhias pita hijau sedangkan saudaranya mengenakan topi serigala yang membingkai kepala hingga dagu, di hidungnya terdapat plester luka dengan cengiran riang yang memperlihatkan gigi susu atasnya yang tanggal sedangkan kakinya terbalut sepatu berbentuk kaki anjing.
    “Hati-hati Nak!” seru wanita yang masih berada didalam rumah itu, tubuhnya terbalut celemek berwarna biru muda dengan kemeja putih dan rok hitam dibaliknya, rambut pirangnya digelung tinggi dan tangan kananya membawa spatula. “Ingatlah untuk pulang kerumah sebelum makan malam, mengerti!?” ujar sang ibu lagi dengan kedua tangan yang berkacak pinggang.
    “Okay Mom!!” jawab dua anak itu serempak.
    .,.
    Jane dan Bill nama dua anak itu. mereka kini tengah menyusuri kompleks perumahan tempat mereka tinggal. Meminta permen atau tipuan kecil dari pemilik rumah yang mereka datangi. Kebetulan orang-orang di kompleks tempat mereka tinggal sangatlah ramah. Mereka memberikan banyak permen dan snack kepada dua anak itu bahkan tak jarang ada yang mengundang mereka untuk makan malam bersama. Namun karena Jane dan Bill mengingat pesan ibu mereka sebelum meninggalkan rumah maka kedua anak itu menolak dengan sopan tawaran dari tetangga mereka.
    Kini kedua anak itu tengah menyusuri terotoar dengan riang gembira. Keranjang mereka penuh akan permen dan snack, sambil berjalan mereka masing-masing menceritakan pengalaman mereka hari ini diselingi canda tawa dan ejekan ringan.
    Angin berhembus kencang meniupkan dedaunan cokelat musim gugur. Udara dingin membuat mereka merasa sedikit merinding apalagi kini jalanan telah mulai sepi dan pintu rumah-rumah telah tertutup semua. Dengan sepakat Jane dan Bill mempercepat langkah mereka, kedua tangan mereka yang tak berbalut sarung tangan saling bergandengan dengan erah bahkan hingga berkeringat. Langkah yang awalnya hanya berjalan cepat itu tanpa sadar kini menjadi berlari. Tak mereka hiraukan permen dan snack mereka yang jatuh berceceran karena guncangan.
    “Jane. Kapan kita akan sampai di rumah?” tanya Bill kepada saudara perempuannya. Suara kekanakannya bergetar ketakutan dengan mata berkaca-kaca siap menitikkan air mata.
    “Tenanglah Bill. Kita akan sampai secepatnya.” ujar Jane menyemangati kembarannya. Walau dari suaranya yang bergetar terlihat jelas bahwa ia juga tengah ketakutan seperti saudaranya.
    .
    Langit yang awalnya cerah berhias cahaya rembulan itu kini mulai menggelap. Awan kelabu tebal membentang luas dengan kilat dan Guntur yang menghiasi. Perlahan rintik air hujan mulai berjatuhan diiringi dengan angin yang berhembus dengan kencang,
    Kedua anak itu mulai panic, mereka tak mau kehujanan tapi rumah mereka masihlah sangat jauh. Mereka ingin berteduh disalah satu rumah yang mereka lewati namun seluruh pintu rumah telah tertutup dengan lampu-lampu ruangan yang telah padam.
    Jane dan Bill mulai kedinginan, pakaian mereka basah karena hujan dan angin musim gugur yang tambah memperburuk keadaan. Tubuh mereka mulai kelelahan, terus menerus berlari ditengah hujan dengan suhu yang rendah sangatlah tidak mungkin bagi tubuh mereka yang masih kanak-kanak.
    Langkah kaki mereka mulai melambat terutama Bill yang berlari di belakang. Tampaknya diantara saudara kembar itu Bill –bocah lelaki bertubuh kecil itulah yang paling lemah fisiknya. Nafas anak itu mulai tak teratur, tangan yang digenggam erat oleh Jane terasa sangat dingin dan tubuhnya mulai menggigil hebat membuatnya susah untuk melangkah.
    Menyadari langkah saudaranya yang mulai melambat Jane menghentikan lajunya. Berbalik menghadap Bill dan memberikan jubah penyihirnya yang panjang kepada bocah berkostum serigala itu. “Bill, kau baik-baik saja kan.” ucap Jane memastikan keadaan saudaranya.
    “Jane. Di-dingin.”ucap Bill terbata menerima jubah dari kembarannya dan memakainya.
    “Aku tahu. Bertahanlah sedikit lagi. Aku melihat sebuah rumah di depan sana yang lampunya masih menyala. Kita akan berteduh disana.” Ujar Jane sambil berjongkok didepan si kembaran. “Ayo naik.” lanjut Jane, kedua tangannya bersiaga di punggung, bersiap menerima beban dari sang adik.
    .
    Rumah itu cukup besar dipagari oleh tembok hampir mencapai dua meter. Pagar rumahnya yang terbuka lebar sangatlah besar berwarna hitam dengan ukiran seperti sulur bunga yang berduri. Dari arah jalan tempat kedua anak kembar itu berdri kini, rumah itu terlihat sangat mencekam padahal seluruh lampu ruangan rumah itu tengah menyala terang.
    Dengan perlahan Jane dan Bill memasuki kediaman bertingkat dua itu. Dari jendela-jendela di lantai satu Jane dapat melihat seseorang tengah berlalu lalang membawa nampan makanan. Dalam hati gadis itu berpikir bahwa si penghuni rumah tengah mempersiapkan makan malam.
    Mengetuk pelan pintu kayu didepannya, kedua anak itu menunggu tanggapan dari penghuni rumah dengan tenang walau tubuh mereka tengah menggigil kedinginan. Ketenang mereka dikejutkan oleh kilat terang dan suara guntur yang keras dan berikutnya lampu diseluruh rumah itu padam.
    Dari dalam rumah Jane dapat mendengar seperti langkah seseorang mendekat ditambah dengan cahaya temaram yang terlihat terpancar dari lubang dibawah pintu besar itu. Tak berselang lama pintu itu terbuka memperlihatkan seorang wanita berambut hitam panjang dengan kaos V neck dan celana jins tengah tersenyum ramah kepada mereka, di tangan kanan wanita itu terdapat sebuah lilin dan di tangan satunya terdapat dua buah handuk kering.
    “Halo Anak-anak. Kelihatannya kalian membutuhkan tempat untuk berteduh.” Ujar wanita itu bertanya walau terdengar seperti membenarkan. “Masuklah dan keringkan tubuh kalian.” lanjut wanita itu sembari menyerahkan kedua handuk di tangannya. Jane dengan segera menurukan Bill yang ada digendongannya. Dengan perlahan gadis itu mengambil handuk dari tangan si tuan rumah dan mengeringkan tubuh adiknya sebelum mengeringkan tubuhnya sendiri.
    Setelah memastikan tubuh dan rambut mereka agak kering –kecuali pakaian basah mereka tentu saja- kedua anak itu dipandu oleh si tuan rumah untuk memasuki ruang makan. Sesampainya di ruang makan Jane dan Bill diminta untuk menunggu terlebih dahulu sementara si tuan ruamh mengambilkan pakaian kering untuk mereka.
    Jane tahu aturan saat bertamu di rumah orang, ia akan berprilaku sesopan mungkin agar tak membuat pemilik rumah marah terhadap mereka dan melaporkan hal itu pada orang tua nya. Ia tak mau dihukum membersihkan gudang belang bersama kembarannya oleh sang ibu, apalagi Bill tak bisa diandalkan dalam urusan bersih-bersih.
    Berbeda dengan Jane, Bill yang pada dasarnya bocah lelaki yang –sangat- aktif sangatlah tak bisa duduk tenang apalagi menunggu, apalagi kini perutnya tengah meronta ingin diisi. Tentu hidangan yang ada di hadapannya ini sangatlah menggugah selera makannya tapi ia harus menunggu sang tuan rumah kembali, ini lah salah satu alasan Bill tidak suka yang namanya menunggu. “Jane, aku lapar.” Ucap Bill kepada kembarannya walau pandangan matanya tengah menatap seluruh hidangan didepannya dengan tak sabaran.
    “Jangan sentuh makanannya Bill. Tunggu hingga Nyonya itu kembali.” Ucap Jane memandang si kembaran dengan tatapan tajam memperingatkan. Sementara Bill hanya cemberut sambil mengelus perutnya yang bersenandung malang.
    “Tapi aku lapar. Aku tak bisa menunggu hingga dia kembali.” Ucap Bill acuh dan tangannya mulai meraih salah satu makanan terdekat yang ada dihadapannya. Setumpuk paha bawah ayam yang besar-besar dengan garnis potongan tomat dan seledri di tumpukan teratasnya.
    “Bill! Aku bilang jangan sentuh makananya! Kau ingin Nyonya itu marah dan melaoprkan kita pada ibu di rumah?” Jane memperingatkan kembarannya, ia bangkit dari kursinya dan memandang Bill dengan nyalang.
    “Tak usah takut. Kita bisa urus itu nanti.” Ucap Bill tak memperdulikan Jane yang sudah mulai marah. Bocah lelaki itu mulai memakan daging paha bawah di tangannya. Daging itu sangat lembut dengan bumbu menggugah seleranya. Sungguh Bill kini merasa rasa laparnya meningkat berkali-keli lipat. “Wow! Ini sangatlah enak. Aku pikir aku bisa terus memakannya.” Ucap Bill mulai mengambil potongan daging keduanya.
    “Bill! Berhenti!” seru Jane, ia memandang kembarannya yang mulai makan dengan beringas, mengotori meja makan dengan potongan kecil daging yang berceceran.
    “Aku tak bisa Jane! Ini terlalu enak, aku tak bisa berhenti memakan makanan ini.” Ucap Bill disela kegiatan makannya membuat beberapa bumbu dan potongan daging menetes mengotori dagunya.
    “Sepertinya kalian memulai makan malam tanpa seizinku, ya.” Suara merdu dengan nada dingin terdengar dari pintu masuk ruang makan membuat tubuh Jane menegang sedangkan sang kembaran terlihat tak perduli dan terus menyantap hidangan didepannya.
    “Aku minta maaf atas ketidak sopanan saudaraku, Nyonya.” Ucap Jane sopan berdiri dari tempat duduknya dan menghadap sang tuan rumah. Jane dapat melihat beberapa lembar pakaian di tangan wanita itu. Namuan yang membuat Jane merasa aneh adalah pakaian yang dikenakan oleh wanita itu kini. Sebuah gaun terusan panjang yang menyapu lantai, bagian lengannyapun sangat panjang hingga menutupi semua bagian tangan wanita itu.
    Wanita itu meletakkan pakaian yang dibawanya pada sandaran kursi yang masih kosong. Ia mendekati Bill yang masih makan dengan lahapnya. Dengan perlahan dan lembut wanita itu mengelus surai pirang Bill. “Anak baik. Makanlah yang banyak, di dapur masih ada banyak daging lagi.” Ujar wanita itu dengan senyum di wajahnya yang bagi Jane senyum itu sangatlah tidak ramah. Ia punya perasaan buruk akan wanita yang ada didekat saudaranya itu.
    “Kenapa kau tidak ikut makan?” tanya wanita itu pada Jane sambil terus menerus memainkan surai pirang Bill. Matanya yang baru diketahui oleh Jane berwarna hitam itu memandangnya dengan dingin walau senyum tengah terukir di paras cantik wanita itu. “lihat, saudaramu makan dengan sangat lahap.” Ucap wanita itu dengan senyum yang perlahan berubah menjadi seringai.
    Jane benar-benar merasa sangat ketakutan sekarang. Dihadapnanya, kembarannya tengah makan dengan sangat menakutkan. Mulut bocah lelaki itu penuh akan daging dan pipinya mulai mengembung. Pupil kecoklatan turunan dari ibu mereka mengecil dan tak focus, keringat bercucuran dari tubuh bocah itu dan entah dari kapan seluruh tubuh kembarannya itu mulai membengkak dibeberapa sisi, wajah, dahi, lengan, jari tangana dan lehernya. “BILL!” seru Jane terkejut sekaligus cemas namun kembarannnya itu tampaknya tak mendengar seruannya. Dia masih terus makan dengan kesetanan.
    Wanita itu kini benar-benar tengah tersenyum menakutkan melihat perubahan Bill, matanya yang awalnya menatap Bill kini melirik Jane yang maih berdiri dengan ekspresi ketakutan membuat wanita itu ingin tertawa kencang namun di tahannya.“Kau tidak ingin mengikuti saudaramu?” tanya wanita itu, ia mulai berjalan mendekati Jane.
    Tubuh Jane bergetar takut, kakinya terasa lemas dan pandangannya tak bisa dialihkan dari kembarannya itu. Tapi saat melihat wanita itu berjalan semakin mendekat dengan kekuatan yang entah dari mana Jane berlari menjauh meninggalkan wanita itu dan kembaranya.
    Jane berlari kencang menuju ruang tamu mencari pintu keluar tempat ia masuk tadi. saat akan membuka pintu itu, pintu hitam besar itu terkunci dan tak dapat dibuka, sementara disetiap jendela terdapat terali besi yang tak bisa dibuka. Ketakutannya bertambah saat medengar langkah kaki dari wanita pemilik rumah yang mulai mendekat. Memandang sekeliling ruangan Jane menemukan sebuah tangga menuju lantai dua. Dengan sigap gadis itu menaiki tangga itu.
    Setibanya di lantai dua kjane di sambut oleh lorong gelap dengan kamar-kamar berjejer rapi. Dengan tergesa-gesa ia membuka salah satu kamar berniat untuk bersembunyi namun pintu kamar itu terkunci, beralih ke kamar lainnya dan ternyata terkunci juga. Semua kamar yang berjejer rapi itu terkunci, Jane terus menyusuri lorong hingga ia menemukan sebuah ruangan besar dengan atap kaca.
    Didalam ruangan gelap yang hanya mendapat cahaya dari sinar kilat di ruang sana Jane merasa seperti tengah mengalami mimpi buruk yang terburuk didalam hidupnya. Tubuh-tubuh tergantung dengan bermandikan darah, beberapa ada yang sudah tak lengkap dan ada yang tinggal tengkorak saja.
    Ingin berteriak tapi tak bisa ditambah mulutnya terasa sangat pahit dan asam lambungnya bergejolak ingin keluar. Jane memuntahkan isi perutnya yang kosong pada lantai yang tergenang cairan merah. Setelah beberapa kali muntah Jane kembali bangkit dengan tubuh bergetar dan nafas terengah melangkah perlahan kebelakang, air mata menetes di pipinya.
    “Hoaa~ kau menemukan ‘dapur’ ku~’.” Suara wanita itu terdengar di belakang Jane membuat Jane terkejut dan tersentak memandang horror wajah wanita itu yang kini menyeringai kejam dengan pandangan tajam.
    Dengan adrenalin yang terpacu kencang, Jane berlari menuju arah pintu tempat wanita itu berdiri hendak menabrak. “Oops~” ujar wanita itu main-main menghindar dari terjangan Jane membiarkan gadis itu berlali mejauhinya. “Hehe-Hahahahahahaha-“
    .
    .
    Jane berlari menuju lantai satu hendak menjemput kembarannya di ruang makan. Namun setibanya disana bukanlah Bill yang tengah makan yang ia temukan, namun sesosok mahluk gemuk botak dengan perut besar seperti hendak meledak tengan terbaring lemah sesekali merintih. “-ne- jne-“ lirih mahluk itu. Jane tentu sangat ngeri melihatnya apalagi mahluk itu tengah menatapnya tanpa henti dengan air mata merah yang berlinang. Baru saja Jane hendak melangkah pergi meninggalkan ruangan itu sebuah helaian surai pirang yang rontok disekitar kepala mahluk itu menghentikannya.
    Pupil Jane mengecil, nafasnya tertahan dan wajahnya terlihat sangat syok “Bill!?” ujar Jane lirih, ragu untuk mendekati mahluk itu.
    “Oh~ sekarang kau menemukan saudaramu~” suara pelan nan dingin itu terdengar tepat dibelakangnya. Tubuh Jane membeku tak berani menoleh kebelakang dan tak bisa bergerak. Perlahan dari kedua sisi tubuhnya dapat ia lihat sepasang tangan terulur mulai mendekapnya pada sebuah dekapan bagaikan kematian. Begitu dingin dan mencekam mambuatnya tak bisa bernafas.
    “saudaramu terlalu banyak memakan daging dari ‘dapur’ di atas.” Bisik wanita itu tepat ditelinga Jane. “Oh lihat~, makannya mulia dingin. Bagaimana kalia kau makan dulu?” ucap wanita itu dengan tangannya mengarahkan pandangan Jane menuju meja makan yang kini terlihat berderet piring-piring dipenuhi daging kemerahan yang masih segar. Sekali lagi Jane rasanya ingin muntah. Ia sangat ketakutann dan jijik. Bila ini hanya mimpi, ia ingin mimpi ini segera merakhir dan jika ini adalah kenyataan maka ia harap orang tuanya segera menemukannya dan juga Bill. Pandangan Jane muali menggelap, samar ia bisa mendengar tawa mengerikan wanita yang masih mengurungnya dalam dekapan dingin tapi ia juga mendengar samar-samar seseorang memanggil namanya.
    .
    .
    .
    “Jane!”
    “Jane bangun!”
    “Jane!”
    Tubuh seorang gadis yang terbaring di depan sebuah rumah tersentak, terbangun dari ketidak sadarannya. Gadis itu melihat bocah lelaki berkostum serigala tengah menatapnya dengan cemas. “Jane kau baik-baik saja?”  tanya anak itu.
    “Bill?” lirih gadis yang dipanggil Jane itu. Memperhatikan penampilan bocah lelaki didepannya dengan teliti dari ujung kepala hingga ujung kaki.
    “Ya? Ada apa?” ucap bocah yang di panggil Bill itu memandang heran kkembarannya yan masih terduduk di trotoar.
    “Dimana kita? Apa yang telah terjadi?” tanya gadis itu memperhatiakn sekeliling, tampaknya ia samar-samar mengenal tempat ini.
    “Kau pingsan saat kita sampai di rumah terakhir.” Jawab Bill menggunakan ibu jari menujuk sebuah rumah besar bertembok setinggi dua meter dengan pagar besarnya yang terbuka lebar.
    Tubuh Jane seketika menegang dan pupilnya mengecil, tak berselang lama tubuh gadis itu bergetar. Dengan terburu gadis itu berdiri membuat tubuhnya sedikit limbung yang dengan sigap ditahan oleh kembarannya. “Ada apa Jane?” tanya Bill saat kembarannya itu tengah menyeretnya menjauh dari rumah besar itu.
    “Bill, ayo pulang. Aku lelah” ujar Jane sambil terus melangkah tak berani menoleh kebelakang.
    “Oh. Baiklah. Lagi pula, keranjang kita sudah sangat penuh.” Ucap Bill menyetujui dan mensejajarkan langkanya dengan Jane.
    .
    .
    Dari sebuah jendela rumah dengan lampu yang menyala terang seorang wanita memandang kedua anak yang tengah berjalan menjauhi kediamannya. Kedua alisnya mengerut kesal dan decakan kecil samar terdengar. “Ahh~ aku gagal mendapatkan bahan makanan baru~.” Ucap wanita itu sambil terus menatap kedua bocah kembar itu hingga menghilang dari pandangannya.
    END


    HAPPY HALLOWEEN~~~~



    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © 2013 - Hyperdimension Neptunia

    My Fanfiction - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan