• Posted by : Yuuki Selasa, 26 Agustus 2014

    Bab 2:
    Dunia Luar

    Setelah Sebastian menyelesaikan sarapanya, ia pun berangkat meninggalkan hutan bersama dengan Ciel. Di hutan mereka melalui jalan setapak kecil yang di penuhi dengan dedaunan kering yang berguguran dan rumput liar, terkadang mereka juga harus melewati semak belukar yang beberapa di antarnya depenuhi dengan duri-duri tajam. Sesekali Sebastian melirik Ciel yang berjalan di sampingnya, di perhatikannya rambut kelabu panjangnya yang terurai hingga sepinggang, kulit potselennya yang mulus tanpa cacat dan mata birunya yang sedalam lautan. “dia benar-benar seorang malaikat yang indah” batin Sebastian.
    Satu hari penuh berjalan di hutan akhirnya malam pun tiba, mereka lalu memutuskan untuk bermalam di hutan karena sudah cukup lelah bagi Sebastian untuk  melanjutkan perjalanan. Malam itu bulan purnama cahayanya bersinar terang hingga sampai ke dasar hutan yang lebat, menyinari tempat Sebastian yang sedang tertidur dengan pulas dan Ciel yang masih terjaga sambil memandangi bulan purnama tampak sangat merindukan kampung halamannya.
    Tiba-tiba semak di dekat mereka bergerak meninggalkan suara gesekan kecil. Ciel yang saat itu masih terjaga mendekati semak itu dengan perlahan, semakin Ciel mendekat semakin keras dan sering pula gesekan itu terdengar hingga pada jarak beberapa meter dari semak itu Ciel menghentikan langkahnya.
    “Sebastian…. Cepat bangun…. Sebastian….” Ciel berusaha membangunkan Sebastian yang masih tertidur tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya berdiri.
    “Sebastian….Sebastian cepat bangun…. Sebastian….” Sebastian mulai membuka matanya perlahan, tapi saat itu juga tiba-tiba seekor harimau besar melesat keluar dari semak belukar di depan Ciel. Harimau itu berlari dengan kencang siap menerkam Sebastian.
    ────•••────
    Bayangan hitam menutupi cahaya bulan yang menyilaukan mata Sebastian di rasakannya beberapa tetes cairan membasahi wajahnya dan bau anyir yang memenuhi udara malam. Ketika dia sudah terbiasa dengan cahaya bulan yang menyilaukan tampak di depannya Ciel berdiri tegap dengan punggung meneteskan darah. Di lihatnya wajah Ciel yang punggungnya terluka itu, begitu tenang dia menahan sakit dengan mata kelam penuh kesedihan. Ciel rubuh di depan mata Sebastian sedangkan harimau itu menghilanng entah kemana.
    “Ciel…. Ciel kau tidak apa-apa?” Ciel tak menjawab perkataan Sebastian, ia tak sadarkan diri. Dengan sigap Sebastian menggendong Ciel dan berlari menerobos kegelapan hutan. Sebastian terus berlari tanpa henti, tanpa memperdulikan rasa lelahnya dan kegelapan hutan. Sekali lagi tampak langit mulai mendung dan hujan pun turun perlahan dan semakin deras menimbulkan badai namun Sebastian masih tetap berlari. Sampai pada akhirnya ia berhasil keluar dari hutan dan melihat rumah seorang warga untuk pertama kalinya.
    Tok…tok…tok…
    ”Ada orang di dalam!? Tolong kami!” Sebastian mengetuk pintu rumah itu  dengan tak sabaran. Perlahan-lahan pintu terbuka dan terlihat seorang nenek tua mengenakan pakaian lusuh berdiri di depan pintu.
    “Ada apa nak?”
    “Tolong nek, dia terluka!”
    “Cepat bawa masuk” – menuntun Sebastian ke sebuah kamar- “Baringkan dia tengkurap.”dengan sigap nenek itu membersihkan luka Ciel lalu membalutnya dengan perban, usai merawat Ciel nenek itu menemui Sebastian yang sedang menunggu di luar kamar dengan cemas.
    “Tenang saja, aku sudah membersihkan lukanya dan mengobatinya, sekarang dia sedang tidur kau juga harus tidur, kau tampak sangat kelelahan.”
    “Tidak, terimakasih nek. Kalau boleh aku ingin melihat keadaannya.”
    “Oh, ya silakan. Tapi jangan sampai ia terbangun. Ia butuh banyak istirahat.”
    “Ia nek terima kasih.” Sebastian pun segera memasuki kamar tempat Ciel di rawat.
    Di lihatnya raut muka Ciel pucat, kulitnya yang seindah porselin  tampak sangat pucat di terangi cahaya lilin. Di lihatnya pula bekas luka goresan cakar yang memerah di punggungnya juga beberapa bekas luka kecil yang memenuhi kulit punggungnya yang indah.
    “Maaf…. Gara-gara aku kau sampai terluka begini. Aku benar-benar minta maaf.”kata Sebastian menyesal air mata menetes di pipinya.

    Keesokan harinya.
    Matahari bersinar terang, burung-burung berkicau riang menyambut badai yang telah berlalu. Ketika Sebastian membuka mata Ciel sudah tak ada di tempatnya, tempat tidur itu kosong dan sudah tertata rapi. Dengan terkejut dan juga cemas Sebastian segera keluar kamar dan mencari Ciel.
    “Nek…. Ciel di mana?”tanya Sebastian ketika melihat nenek yang menolongnya sedang memetik sayuran di halaman.
    “Ciel? Siapa Ciel? Dan kamu siapa?”
    “Eh…!? Ini aku Sebastian nek. Kemarin malam aku datang minta tolong untuk mengobati Ciel.”
    “Ciel itu siapa? Kekasihmu? Atau istrimu?”
    “Kekasih? Bu…. Bukan dia bukan kekasihku.” Katanya dengan muka merah.
    “Lalu kenapa kau mencemaskannya?”
    “I…. itu karena….” Sebastian terdiam memikirkan perkataannya.
    ────•••────
    Hari itu Sebastian meninggalkan rumah nenek itu dan pergi ke kota sendirian tanpa Ciel yang tak pasti dimana keberadaannya. Beberapa hari telah berlalu akhirnya Sebastian tiba di kota, setibanya di kota perhatian Sebastian langsung tertuju kearah orang-orang yang sedang berkumpul di tepi sebuah kolam air mancur, samar-samar terdengar suara kagum dan juga tepuk tangan dari orang-orang itu. Karena penasaran Sebastian pun memutuskan bergabung di keramaian itu.
    Ternyata yang menjadi pusat keramaian itu adalah seorang gadis yang sedang menari berbalut busana hitam pekat yang indah dan serasi dengan warna kulit dan dan rambut kelabunya yang panjang, ia menggunakan cadar sehingga wajahnya tertutup separuh. Sebastian memperhatikan wanita itu dengan wajah terkagum-kagum, gerakan yang indah dan lemah gemulai tah pernah ia lihat sebelumnya. Ketika tanpa sadar mata penari itu dan mata Sebastian bertemu entah kenapa Sebastian merasa mengenal pancaran mata itu, pancaran mata yang berhari-hari ia cari .
    Setelah pertunjukan tarian itu selesai dan para penonton membubarkan diri dengan berani Sebastian mendekati wanita itu.
    “Nona. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Sebastian, tapi wanita itu hanya menggelengakan kepalanya sambil terus memunggungi Sebastian.
    “Bolehkah saya tahu nama anda nona?” sekali lagi wanita itu hanya mengeleng ia sibuk membereskan barang-barang pertunjukan yang ia gunakan. Tiba-tiba angin kencang bertiup menyibakkan rambut panjang wanita itu. Terlihat dengan jelas oleh mata Sebastian banyak bekas luka terukir di punggungnya yang putih dan seindah berlian itu. Ada tiga luka yang takkan mungkin di lupakan oleh Sebastian, tiga luka yang seharusnya ia dapatkan.
    “Ciel?”kata Sebastian ragu, namun wanita itu hanya terdiam sambil terus membereskan barang-barangnya.
    “Kau Ciel kan!?” wanita itu tetap tidak  menjawab.
    “Ciel!” Sebastian menarik lengan wanita itu bersamaan dengan datangnya tiupan angin kencang yang menyibakkan cadar yang menutupi wajah wanita itu. Senyum manis terukir di wajahnya yang cantik dan bibir yang merah mengoda, tatapan matanya lembut memancarkan perasaan riang dan juga pedih yang dalam. Sebastian memeluk wanita itu dengan erat tak mau melepaskannya. Wanita itu terkejut dengan perlakuan Sebastian tapi ia hanya terdiam dan menyambut pelukan Sebastian sambil mengelus punggung Sebastian dengan lembut.
    “Sudah lama sekali ya Sebastian, dan sudah ku bilang, aku ini laki-laki.”kata wanita –err- laki-laki itu.
    “Kemana saja kau selama ini! Aku terus mencarimu, bagaimana keadaan lukamu?” Ciel tidak menjawab. “Ciel!”kata Sebastian sambil melepaskan pelukannya dan menatap mata laki-laki itu dengan tajam.
    “Luka ku…. sudah sembuh beberapa jam setelah nenek itu mengobatiku.”
    “Lalu kenapa kau pergi?”
    “Biasanya manusia membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkannya, kalau nenek itu melihatku pulih dengan cepat pasti ia akan curiga. Karena itu pagi-pagi sekali aku menghapus ingatan nenek itu dan pergi maninggalkan mu.”
    “Menghapus ingatan? Kenapa kau tidak mengajakku.”
    “Karena kau akan kembali ke keluargamu. Kau tak mungkin membawaku yang tidak ada hubungan apa-apa denganmu.”
    “Kau sudah menolongku, kurasa itu alasan yang cukup untuk membawamu bersamaku.”
    “Tapi…”
    “Tidak ada tapi-tapian. Kalau kau sekali lagi pergi tanpa memberitahuku, akan ku pastikan aku akan menemukanmu dan membawamu kembali.” Ciel tersenyum lembut memandang mata Crimson milik Sebastian, merah bertemu biru, mereka saling menyelami kedalaman mata masing-masing lawannya, tanpa sadar tangan kanan Sebastian membelai lembut wajah cantik Ciel dan jarak bibir mereka mulai berkurang.
    “Yangmulia Pangeran, kami datang untuk menjemput anda.” Suara dari belakang mereka menyadarkan Sebastian kembali ke kenyataan menghentikan hal romantic yang hendak ia lakukan.
    “Kalian…..”kata Sebastian terkejut dengan wajah memerahnya.
    “Sekali lagi, kami datang untuk membawa anda kembali ke Istana, Pangeran!”


    TBC

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © 2013 - Hyperdimension Neptunia

    My Fanfiction - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan