- Home>
- Darkness Under the Sun 1
Posted by : Yuuki
Rabu, 25 April 2018
Darkness Under the Sun
.,.
.,.
Anak itu bernama Naruto, bocah yang hidup
dalam kegelapan tapi tawa cerahnya mengherankan banyak orang.
Anak itu bernama Uzumaki, satu-satunya yang
tersisa namun tak ada yang menyadarinya.
Anak itu adalah Jinchuuriki, sumber
kebencian seluruh warga yang selalu tertawa tanpa perduli akan kegelapan di
sekelilingnya.
Dia adalah Uzumaki Naruto, Ninja yang
berdiri dalam kegelapan di bawah siraman cahaya matahari.
.,.,.
“Kalian takkan bisa menangkapku!!!” seru
anak bersurai pirang sambil berlari menjauhi para ninja yang mengejarnya.
Wajahnya yang belepotan cat tertawa riang tanpa memperdulikan bisikan
orang-orang di sekitarnya.
“Anak itu berulah lagi. Ini sudah ke tiga
kalinya dalam minggu ini dia mengacaukan monumen Hokage. Kenapa Sandaime-sama
tidak menghukum anak itu juga?”
“Ku dengar dia lagi-lagi tidak lulus tes di
akademi.”
“Harusnya anak seperti itu tidak usah masuk
akademi.”
“Kenapa Sandaime-sama mengijinkannya?”
“Anak rubah itu....”
“Anak Kyuubi itu.....”
“Anak Monster itu....”
.
.
“Naruto! Berapa kali harus ku katakan untuk
menghentikan kenakalanmu itu!” Chunin dengan wajah luka melintang di tulang
hidung menggurui Naruto di depan ruang kelas. Lagi-lagi dia harus berdiri di
luar ruangan kelas sambil mendengar ceramah dari wali kelasnya ini.
“Hehe... Maaf Sensei~” walau sedang dimarahipun
dia tidak sedikitpun menunjukkan wajah sedih atau takut.
“Kau apa benar-benar ingin menjadi ninja?
Jika kau terus berbuat seperti ini, kau akan selalu gagal dalam ujian. Kau tau
itu?”sejak awal Iruka Umino –nama guru itu- memang tidak begitu menyukai sikap
Naruto. Selain karena apa yang ada didalam tubuh anak itu lah yang membuatnya
kehilangan keluarganya, tapi juga sikap dan prilaku Naruto sangat mengganggu
proses belajar-mengajar. Anak itu selalu bernuat onar di sekolah hingga
akhirnya harus di keluarkan dari kelas, dia mengajak teman-temannya membolos
hanya untuk dapat bermain di hutan belakang akademi. “Jika kau hanya ingin
berbuat onar, jangan lakukan di akademi dan mengganggu teman-temanmu yang
sedang belajar. MEREKA ADA DISINI UNTUK MENJADI NINJA! BUKAN MENJADI BIANG
ONAR!”
Tidak maksud Iruka untuk berkata kasar,
tapi apa yang didengar dan dirasakan Naruto adalah kata-kata penuh amarah dan
kebencian. Tanpa memperdulikan seruan Iruka yang memanggilnya untuk kembali dan
tatapan teman-teman sekelasnya yang mengintip dari jendela ruang kelas, Naruto
meninggalkan Akademi.
Diantara berpasang-pasang mata yang
mengintip kejadian itu, satu pasang mata menatap dengan menyelidik, sebelum
akhirnya menghela nafas dan kembali menutup matanya, melanjutakan tidurnya yang
terganggu oleh teriakan Iruka Umino.
.
.
“Naruto-kun?”
“Jii-chan...”
Lelaki itu bernama Hiruzen Sarutobi, Hokage
Ketika Konoha dan merupakan sosok kaki bagi Naruto yang tidak memiliki sanak
saudara. Tidak biasanya Hiruzen Sarutobi merasakan keberadaan Naruto di sekitar
monumen Hokage di jam-jam seperti ini. Biasanya dia akan berada di Akademi atau
membolos bersama teman-temannya. “Kau kabur dari akademi lagi? Ada apa?”
“.....”
“Sudah lama sekali aku tidak melihat Konoha
dari atas sini.” Hiruzen mendudukkan dirinya di samping Naruto, matanya menatap
pemandangan luas didepannya yang memperlihatkan segala kesibukan d posat
Konoha.
“Ne Jii-chan, Kenapa aku harus masuk
akademi? Kenapa aku harus menjadi ninja?”
“Naruto-kun, aku memasukkanmu ke Akademi
agar kau bisa melindungi dirimu jika sesuatu yang buruk terjadi padamu. Di
Akademi kau di ajarkan untuk bertahan mengahadapi serangan-serangan musuh. Aku
ingin kau bisa bertahan jika kau di serang.”
“Kenapa bertahan? Apa aku tidak boleh
menyerang? Apa karena aku monster makan aku tidak boleh tau bagaimana cara
menyerang? Tak ada satupun sensei di akademi yang mengajariku cara bertarung
atau mempertahankan diri.” Mata biru itu terpejam dengan kedua tangan yang
berusaha memeluk tubuhnya sendiri. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan
ekspresinya dari jangkauan penglihatan sang kakek.
“Naruto-kun, kau tahu. Ketika Ibumu pertama
kali menginjakkan kaki di desa in, dia tidaklah di sambut dengan hangat oleh
orang-orang desa. Saat itu perang shinobi ke-2 baru saja selesai dan para warga
masih cemas dengan adanya penyusup yang ingin menghancurkan desa. Tidak hanya
ibumu saja yang di sambut dengan tidak hangat. Ibumu sendiripun awalnya tidak
senang tinggal di Konoha. Untuk anak seusia ibumu, itu adalah hal yang sangat
menakutkan untuk tinggal di desa baru dengan orang-orang yang tidak dikenal seorang
diri. Tapi setelah beberapa tahun berlalu dan ibumu tumbuh menjadi kunoichi
yang hebat, ia mulai menjalin pertemanan dengan warga dan para ninja. Para
warga juga mulai sadar dan mengerti, ibumu bukan lagi di anggap sebagai orang
luar, dia sudah menjadi bagian dari warga konoha.” Tangan tua Hiruzen mengelus
lembut rambut pirang Naruto, mata tuanya menatap dengan sedih pada anak yang
sudah dianggapnya sebagai cucunya sendiri. “Aku mendaftarakanmu ke Akademi
dengan harapan kau tau cara untuk melindungi dirimu sendiri, aku juga berharap
agar kau menemukan teman yang dapat mengerti dirimu apa adanya dan bersedia
selalu berada disampingmu. Sosok yang akan menjadi teman dan juga sahabat
untukmu.”
“Jii-chan, apa aku akan dapat memiliki
teman?” masih menyembunyikan wajahnya Naruto bertanya. Suaranya sarat akan
harapan.
“Bukankah kau sudah memilikinya? Kiba-kun,
Chouji-kun, Shikamaru-kun juga temanmu kan?”
“Eh mereka temanku?” wajah mungil itu penuh
dengan ekspresi terkejut.
“Tentu saja, jika tidak. Mereka takkan
mencarimu kemari.”
“Eh?”
“NARUTO!!!” dari kejauhan naruto mendengar
suara Kiba yang berteriak kencang memanggil namanya dan Shikamaru serta Chouji
yang mengikuti dibelakang.
“Kiba! Shikamaru! Chouji!” seru naruto
melambaikan tangan. “Sampai nanti jii-chan.” Ujar Naruto sebelum menghampiri
teman-temannya yang mulai sampai di puncak bukit Hokage.
Bagi Naruto, dunia itu terlihat begitu
hitam-putih. Tak ada warna yang dapat mencerahkan hari-harinya yang suram. Tapi
ketika teman-temannya ada di sisinya. Sedikit saja dia berharap agar bisa
merasakan indahnya warna dari persahabatan.
.
Keempat anak itu bermain hingga sore di
bukit Hokage, berlari dan bersembunyi. Sesekali mereka beristirahat sebelum
akhirnya kembali bermain. Ketika hari mulai beranjak sore mereka menghentikan
permainan dan kembali menuju desa. “Hei hei, apa kalian sudah siap untuk ujian
kelulusan minggu depan?” tanya Kiba sambil menggendong Akamari di tangannya.
“Aku belum, kira-kira tesnya akan seperti
apa ya?” Chouji sambil mengusap perutnya yang bulat bertanya. Anak itu
tampaknya sudah sangat kelaparan.
“Paling-paling ujian tulis, Jutsu dan
taijutsu seperti biasanya. Merepotkan sekali.”
“Aku paling tidak bisa ujian tulis.” Lirih
Naruto yang berjalan di samping Shikamaru dan Chouji.
“Kalo ujian ninjutsunya Bunshin pun kau
juga tidak bisa, hahaha” canda Kiba menyindir Naruto. Mereka berempat tahu jika
Naruto tidak begitu mahir dalam membuat bunshin, tapi bukan berarti Naruto
tidak bisa menjadi ninja. Diantara murid sekelas, Naruto lah yang staminanya
paling kuat, dia juga memiliki insting yang cukup tajam untuk mengetahui
keberadaan seseorang. Terkadang secara tanpa disadari Naruto akan mejauhi
hal-hal atau orang yang memberikannya perasaan buruk. Bisa dibilang insting
Narutolah yang paling tajam di antara teman sekelas selain Kiba. Tapi sayangnya
yang menyadari hal itu hanya Shikamaru.
Perbincangan mereka terus dilanjutkan
hingga mereka tiba di taman konoha, disana mereka masih bisa bermain sambil
menunggu orangtua mereka menjemput. “Ah, itu Hana-nee! Bye bye Naruto...” seru
kiba sambil berlari menuju kakaknya yang datang menjemput.
Tak lama kemudian ayah Shikamaru datang
menjemput. “Chouji, Chouza sedang ada misi, ibumu memintaku untuk menjemputmu.”
Ucap Shikaku Nara mengajak bocah kembul keluarga Akimichi itu pulang bersama.
“Bye-bye Naruto.” Seru Chouji meninggalkan
Naruto yang masih duduk diayunan seorang diri, dia menghampiri Shikamaru yang
sudah ada di samping Shikaku.
“Naruto. Kalau kau kesulitan untuk ujian
tulisnya, aku bisa mengajarimu. Itupun kalau kau mau.” Untuk sekejap waktu di
sekitar Naruto terasa bergerak lebih lambat. Untuk pertama kalinya Naruto
mendengar ada orang yang masih perduli pada dirinya selain Sandaime Hokage dan
pemilik Ichiraku.
“Terimakasih Sikamaru!” senyum ceria
membutakan mata itu membuat jantung bocah Nara itu seakan berdetak cepat.
Perasaannya saja atau Naruto terlihat begitu mempesona dihadapannya.
“Me-merepotkan, Jaa Naruto. Sampai jumpa
besok.” Berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya, Shikamaru berjalan meninggalkan
taman meninggalkan Narut5o yang masih tersenyum ceria dan Chouji serta Shikaku
yang membatu melihat kejadian di depan mereka.
TBC
Denpasar
25/4/18
