Archive for Agustus 2014

  • Anget Tears Wasted 2

    0
    Bab 2:
    Dunia Luar

    Setelah Sebastian menyelesaikan sarapanya, ia pun berangkat meninggalkan hutan bersama dengan Ciel. Di hutan mereka melalui jalan setapak kecil yang di penuhi dengan dedaunan kering yang berguguran dan rumput liar, terkadang mereka juga harus melewati semak belukar yang beberapa di antarnya depenuhi dengan duri-duri tajam. Sesekali Sebastian melirik Ciel yang berjalan di sampingnya, di perhatikannya rambut kelabu panjangnya yang terurai hingga sepinggang, kulit potselennya yang mulus tanpa cacat dan mata birunya yang sedalam lautan. “dia benar-benar seorang malaikat yang indah” batin Sebastian.
    Satu hari penuh berjalan di hutan akhirnya malam pun tiba, mereka lalu memutuskan untuk bermalam di hutan karena sudah cukup lelah bagi Sebastian untuk  melanjutkan perjalanan. Malam itu bulan purnama cahayanya bersinar terang hingga sampai ke dasar hutan yang lebat, menyinari tempat Sebastian yang sedang tertidur dengan pulas dan Ciel yang masih terjaga sambil memandangi bulan purnama tampak sangat merindukan kampung halamannya.
    Tiba-tiba semak di dekat mereka bergerak meninggalkan suara gesekan kecil. Ciel yang saat itu masih terjaga mendekati semak itu dengan perlahan, semakin Ciel mendekat semakin keras dan sering pula gesekan itu terdengar hingga pada jarak beberapa meter dari semak itu Ciel menghentikan langkahnya.
    “Sebastian…. Cepat bangun…. Sebastian….” Ciel berusaha membangunkan Sebastian yang masih tertidur tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya berdiri.
    “Sebastian….Sebastian cepat bangun…. Sebastian….” Sebastian mulai membuka matanya perlahan, tapi saat itu juga tiba-tiba seekor harimau besar melesat keluar dari semak belukar di depan Ciel. Harimau itu berlari dengan kencang siap menerkam Sebastian.
    ────•••────
    Bayangan hitam menutupi cahaya bulan yang menyilaukan mata Sebastian di rasakannya beberapa tetes cairan membasahi wajahnya dan bau anyir yang memenuhi udara malam. Ketika dia sudah terbiasa dengan cahaya bulan yang menyilaukan tampak di depannya Ciel berdiri tegap dengan punggung meneteskan darah. Di lihatnya wajah Ciel yang punggungnya terluka itu, begitu tenang dia menahan sakit dengan mata kelam penuh kesedihan. Ciel rubuh di depan mata Sebastian sedangkan harimau itu menghilanng entah kemana.
    “Ciel…. Ciel kau tidak apa-apa?” Ciel tak menjawab perkataan Sebastian, ia tak sadarkan diri. Dengan sigap Sebastian menggendong Ciel dan berlari menerobos kegelapan hutan. Sebastian terus berlari tanpa henti, tanpa memperdulikan rasa lelahnya dan kegelapan hutan. Sekali lagi tampak langit mulai mendung dan hujan pun turun perlahan dan semakin deras menimbulkan badai namun Sebastian masih tetap berlari. Sampai pada akhirnya ia berhasil keluar dari hutan dan melihat rumah seorang warga untuk pertama kalinya.
    Tok…tok…tok…
    ”Ada orang di dalam!? Tolong kami!” Sebastian mengetuk pintu rumah itu  dengan tak sabaran. Perlahan-lahan pintu terbuka dan terlihat seorang nenek tua mengenakan pakaian lusuh berdiri di depan pintu.
    “Ada apa nak?”
    “Tolong nek, dia terluka!”
    “Cepat bawa masuk” – menuntun Sebastian ke sebuah kamar- “Baringkan dia tengkurap.”dengan sigap nenek itu membersihkan luka Ciel lalu membalutnya dengan perban, usai merawat Ciel nenek itu menemui Sebastian yang sedang menunggu di luar kamar dengan cemas.
    “Tenang saja, aku sudah membersihkan lukanya dan mengobatinya, sekarang dia sedang tidur kau juga harus tidur, kau tampak sangat kelelahan.”
    “Tidak, terimakasih nek. Kalau boleh aku ingin melihat keadaannya.”
    “Oh, ya silakan. Tapi jangan sampai ia terbangun. Ia butuh banyak istirahat.”
    “Ia nek terima kasih.” Sebastian pun segera memasuki kamar tempat Ciel di rawat.
    Di lihatnya raut muka Ciel pucat, kulitnya yang seindah porselin  tampak sangat pucat di terangi cahaya lilin. Di lihatnya pula bekas luka goresan cakar yang memerah di punggungnya juga beberapa bekas luka kecil yang memenuhi kulit punggungnya yang indah.
    “Maaf…. Gara-gara aku kau sampai terluka begini. Aku benar-benar minta maaf.”kata Sebastian menyesal air mata menetes di pipinya.

    Keesokan harinya.
    Matahari bersinar terang, burung-burung berkicau riang menyambut badai yang telah berlalu. Ketika Sebastian membuka mata Ciel sudah tak ada di tempatnya, tempat tidur itu kosong dan sudah tertata rapi. Dengan terkejut dan juga cemas Sebastian segera keluar kamar dan mencari Ciel.
    “Nek…. Ciel di mana?”tanya Sebastian ketika melihat nenek yang menolongnya sedang memetik sayuran di halaman.
    “Ciel? Siapa Ciel? Dan kamu siapa?”
    “Eh…!? Ini aku Sebastian nek. Kemarin malam aku datang minta tolong untuk mengobati Ciel.”
    “Ciel itu siapa? Kekasihmu? Atau istrimu?”
    “Kekasih? Bu…. Bukan dia bukan kekasihku.” Katanya dengan muka merah.
    “Lalu kenapa kau mencemaskannya?”
    “I…. itu karena….” Sebastian terdiam memikirkan perkataannya.
    ────•••────
    Hari itu Sebastian meninggalkan rumah nenek itu dan pergi ke kota sendirian tanpa Ciel yang tak pasti dimana keberadaannya. Beberapa hari telah berlalu akhirnya Sebastian tiba di kota, setibanya di kota perhatian Sebastian langsung tertuju kearah orang-orang yang sedang berkumpul di tepi sebuah kolam air mancur, samar-samar terdengar suara kagum dan juga tepuk tangan dari orang-orang itu. Karena penasaran Sebastian pun memutuskan bergabung di keramaian itu.
    Ternyata yang menjadi pusat keramaian itu adalah seorang gadis yang sedang menari berbalut busana hitam pekat yang indah dan serasi dengan warna kulit dan dan rambut kelabunya yang panjang, ia menggunakan cadar sehingga wajahnya tertutup separuh. Sebastian memperhatikan wanita itu dengan wajah terkagum-kagum, gerakan yang indah dan lemah gemulai tah pernah ia lihat sebelumnya. Ketika tanpa sadar mata penari itu dan mata Sebastian bertemu entah kenapa Sebastian merasa mengenal pancaran mata itu, pancaran mata yang berhari-hari ia cari .
    Setelah pertunjukan tarian itu selesai dan para penonton membubarkan diri dengan berani Sebastian mendekati wanita itu.
    “Nona. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Sebastian, tapi wanita itu hanya menggelengakan kepalanya sambil terus memunggungi Sebastian.
    “Bolehkah saya tahu nama anda nona?” sekali lagi wanita itu hanya mengeleng ia sibuk membereskan barang-barang pertunjukan yang ia gunakan. Tiba-tiba angin kencang bertiup menyibakkan rambut panjang wanita itu. Terlihat dengan jelas oleh mata Sebastian banyak bekas luka terukir di punggungnya yang putih dan seindah berlian itu. Ada tiga luka yang takkan mungkin di lupakan oleh Sebastian, tiga luka yang seharusnya ia dapatkan.
    “Ciel?”kata Sebastian ragu, namun wanita itu hanya terdiam sambil terus membereskan barang-barangnya.
    “Kau Ciel kan!?” wanita itu tetap tidak  menjawab.
    “Ciel!” Sebastian menarik lengan wanita itu bersamaan dengan datangnya tiupan angin kencang yang menyibakkan cadar yang menutupi wajah wanita itu. Senyum manis terukir di wajahnya yang cantik dan bibir yang merah mengoda, tatapan matanya lembut memancarkan perasaan riang dan juga pedih yang dalam. Sebastian memeluk wanita itu dengan erat tak mau melepaskannya. Wanita itu terkejut dengan perlakuan Sebastian tapi ia hanya terdiam dan menyambut pelukan Sebastian sambil mengelus punggung Sebastian dengan lembut.
    “Sudah lama sekali ya Sebastian, dan sudah ku bilang, aku ini laki-laki.”kata wanita –err- laki-laki itu.
    “Kemana saja kau selama ini! Aku terus mencarimu, bagaimana keadaan lukamu?” Ciel tidak menjawab. “Ciel!”kata Sebastian sambil melepaskan pelukannya dan menatap mata laki-laki itu dengan tajam.
    “Luka ku…. sudah sembuh beberapa jam setelah nenek itu mengobatiku.”
    “Lalu kenapa kau pergi?”
    “Biasanya manusia membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkannya, kalau nenek itu melihatku pulih dengan cepat pasti ia akan curiga. Karena itu pagi-pagi sekali aku menghapus ingatan nenek itu dan pergi maninggalkan mu.”
    “Menghapus ingatan? Kenapa kau tidak mengajakku.”
    “Karena kau akan kembali ke keluargamu. Kau tak mungkin membawaku yang tidak ada hubungan apa-apa denganmu.”
    “Kau sudah menolongku, kurasa itu alasan yang cukup untuk membawamu bersamaku.”
    “Tapi…”
    “Tidak ada tapi-tapian. Kalau kau sekali lagi pergi tanpa memberitahuku, akan ku pastikan aku akan menemukanmu dan membawamu kembali.” Ciel tersenyum lembut memandang mata Crimson milik Sebastian, merah bertemu biru, mereka saling menyelami kedalaman mata masing-masing lawannya, tanpa sadar tangan kanan Sebastian membelai lembut wajah cantik Ciel dan jarak bibir mereka mulai berkurang.
    “Yangmulia Pangeran, kami datang untuk menjemput anda.” Suara dari belakang mereka menyadarkan Sebastian kembali ke kenyataan menghentikan hal romantic yang hendak ia lakukan.
    “Kalian…..”kata Sebastian terkejut dengan wajah memerahnya.
    “Sekali lagi, kami datang untuk membawa anda kembali ke Istana, Pangeran!”


    TBC
  • Setitik Kebahagiaan di Tanah Terbuang

    6


    ††††
    Tak perlu tempat yang indah untuk sebuah rumah. Tak perlu sebuah desa untuk bisa pulang. Cukup satu hal yang bisa dijadikan alasan untuk pulang. Keberadaan dia yang perduli akan dirimu, keberadaan dia yang selalu menantikanmu, keberadaan dia yang selalu menerimamu. Walalu tersesat dalam liku hidup bagai neraka, asalkan sosok itu tetap menantimu maka kau akan tetap memiliki alasan untuk pulang. Karena sebuah kebahagian hanya bisa kau dapatkan saat ada disisinya, meski kau berada ditanah yang tak kau ketahui sekalipun.

    Setitik Kebahagiaan di Tanah Terbuang
    ††††
    By Ayuni Yukinojo
    ††††
    Naruto ©Masashi kishimoto
    Pairing : SasuNaru
    Warning : OOC, Typo, bahasa campur-campur, EYD kurang baik dll.


    Hidup dalama pelarian. Seumur hidup Naruto tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Selama ini ia hanya bermimpi untuk menjadi Hokage yang melebihi Hokage yang lainnya, juga membawa Sasuke kembali ke desa. Ia kira setelah perang dunia shinobi ke- 4 semua hal itu akan menjadi kenyataan. Namun ternyata perkiraannya salah.
    Keberadaannya yang di anggap sebagai pahlawan perang shinobi ke-4 bukan hanya membuat ia di hormati layaknya seorang Kage namun juga membuat orang takut padanya layaknya takut pada Madara. Hal itu karena kebenaran dirinya yang diketahui sebagai reinkarnasi anak kedua Rikodou sekaligus orang yang menerima cakra dari tujuh biju termasuk biju miliknya sendiri Kyuubi. Keberadaannya sama ditakutinya seperti Madara Uchiha. hal ini tentu membuat beberapa orang tak setuju akan pengangkatannya sebagai Hokage. Selain karena kekuatannya dapat membuat keseimbangan antar lima negara terganggu, orang-orang juga takut sosok Naruto yang mengamuk kelak karena kehilangan kendali akan kekuatan besar dalam dirinya. Padahal hal seperti itu tak mungkin terjadi.
    Hal lain yang membuatnya kecewa adalah keputusan hukum mati bagi nuke-nin kelas S Uchiha Sasuke. Rivalnya, sahabatnya, saudaranya seklaigus orang yang ia cintai. Ia sudah memohon pada semua Kage namun tak ada yang mau mengabulkan permohonannya. Ia mengajukan diri sebagai pengawas Sasuke yang akan selalu memantau tindak tanduk Sasuke agar tak lagi merugikan dunia ninja namun mereka tak juga mengabulkannya. Sasuke Uchiha tetap akan dihukum mati.
    Ia sudah meminta bantuan pada teman-teman se-angkatannya namun mereka sama tak dapat berbuat apa-apa, mereka pasrah dan angkat tangan. Bahkan Sakura juga sudah menyerah tak berani melawan perintah gurunya, Tsunade. Sedangkan Kakashi juga tak dapat berbuat banyak karena ia masih harus menjalani perawatan serius di unit kesehatan akibat peperangan yang berlangsung sebelumnya.
    Mimpinya hilang. Sahabatnya pun akan menghilang. Sudah tak ada lagi yang bisa Naruto perjuangkan. Mimpi menjadi Hokage sudah pasti takkan pernah ia wujudkan. Membawa Sasuke ke Konoha hanya akan memabuat Sasuke terbunuh. Ia tak bisa lagi berjuang mengejar Sasuke, teman-teman yang sebelumnya selalu menyemangatinya sudah terlalu lelah akibat peperangan. Mereka sudah banyak kehilangan dan dan Naruto tak mau membebani mereka lagi. Maka Naruto memilih jalan ini. Ia meninggalkan Konoha setelah sebelumnya mengajukan surat pengunduran diri sebagai seorang shinobi.
    Menurut buku aturan perninjaan. Seorang shinobi berpangkat Genin bebas memilih akan melanjutkan profesinya menjadi shinobi atau tidak. Dan kini Naruto memilih untuk berhenti. Ia ingin meinggalkan Konoha, bukan sebagai penghianat tapi sebagai seorang warga desa biasa yang ingin mengelilingi dunia. Begitulah alasan yang ia ungkapkan pada Tsunade. Selain untuk memastikan keseimbangan antar lima negara agar tak ada negara yang superior dan sebaliknya maka Naruto memilih untuk tak menjadi bagian dari yang manapun.
    Tsunade tentu menolak pengajuan yang diberikan Naruto namun ia juga tak bisa mengekang Naruto lagi di Konoha. Ia sadar anak kesayangannya itu sudah tak memiliki hal yang bisa diperjuangkan. Mimpinya dan sahabatnya telah terancam lenyap karena ke-egoisan para petinggi Negara. Tsunade hanya bisa menjamin posisi Naruto bukanlah sebagai seorang nike-nin dimata para pemimpin lima negara besar. Konsekuensi lainnya biar ia yang menangguang, Naruto sudah berkorban terlalu banyak untuk Konoha serta dunia shinobi dan kini waktunya Tsunade untuk membalas budinya.
    ††††
    Uchiha Sasuke tentu tau akan predikatnya sebagai nuke-nin paling dicari di dunia shinobi ini. Ia juga tahu hukuman apa yang menantinya jika ia bisa sampai tertangkap, tapi bukan hal itu yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Kabar mengenai Naruto yang berhenti menjadi ninja dan meninggalkan Konoha lah yang ia pikirkan. Apa yang terjadi dengan dobe-nya yang selalu mengejarnya itu? Dobe-nya yang selalu bermimpi untuk menjadi Hokage itu meninggalkan profesinya sebagai ninja dan memilih menjadi rakyat biasa? Apa dobe-nya sudah lelah mengejarnya? Atau terjadi sesuatu di Konoha yang membuatnya harus meninggalkan desa kelahirannya itu? Satu-persatu pertanyaan muncul dalam pikiran sang Uchiha terakhir namun tak ada satupun jawaban yang didapatkannya. Padahal ia sebelumnya yakin bahwa Naruto akan mendapatkan posisi Hokage menggantikan Tsunade dan ia bisa menerima hukman mati dengan lapang dada asalkan sang blode yang mencabut nyawanya. Tapi kini semua berjalan tak sesuai dengan perkirannya.
    Kini ia hanya bisa bertahan hidup dan tak tertangkap oleh ninja-ninja yang mengejarnya walau ia memiliki keyakinan bahwa tak akan ada satupun ninja yang bisa mengalahkannya dan menangkapnya selain sang sahabat yang selalu ia rindukan.
    .
    Sudah cukup lama Sasuke berjalan menyusuri hutan sendirian. Anggota tim Taka yang ia kumpulkan sudah memilih jalan hidupnya masing-masing. Suigetsu yang memutuskan untuk kembali berburu Tujuh Pedang Shinobi Gatana, Jugo yang memutuskan untuk tinggal disebuah desa asri non shinobi yang tenang dan nyaman serta Karin yang memutuskan berada di Konoha untuk belajar tehnik medis pada sang Sannin legenda Tsunade. Kini Sasuke hanya sendian, berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya menghindari kontak dengan para shinobi. Bukannya takut, ia hanya tak mau membat sahabatnya kecewa karena telah membunuh orang-orang yang sebelumnya telah berusaha ia selamatkan saat perang.
    .
    Sudah berhari-hari Sasuke menyusuri sebuah hutan di bekas wilayah Uzugakure ini. Hutan yang sangat lebat tanpa ada manusia yang menghuninya namun banyak binatang yang hidup damai disini tak tersentuh kerusakan akibat peperangan. Sebenarnya Sasuke tak perduli dimana dirinya kini berada hanya saja begitu tahu bahwa kakinya menginjak wilayah Uzugakure tempat klan sahabatnya dulu berdiri memebuat Sasuke ingin menyusuri tempat ini. Tertarik untuk meilhat seperti apa keadaan Uzugakure setelah penyerangan aliansi Kiri-Iwa-Kumo sebelumnya.
    Sasuke sudah melihat keadaan bekas ibu kota sebelumnya. Begitu kacau dan penuh reruntuhan yang diperkirakan akibat ledakan bom. Merasa takkan menemukan apapun diwilayah ibu kota Sasuke lalu memutuskan menjelajahi wilayah hutannya hingga kini ia tak tahu ada dimana dalam arti lainnya ia tersesat. Jujur bagi Sasuke hutan milik wilayah Uzugakure ini terlalu lebat dan rapat, walau suasana disini begitu menenangkan tapi tetap saja tempat ini sangat gelap bila matahari terbenam.
    ††††
    Matahari sudah terbenam dan Sasuke tak juga berhenti berjalan, ia sungguh tak merasa kelelahan. Hutan ini memberikan segala yang ia butuhkan, air yang jernih dari anak sungai di sekitar Uzugakure, buah-buahan layak makan yang melimpah dan hewan buruan yang banyak. Ia merasa nyaman berada di hutan ini tapi ia belum tentu ingin menetap di hutan tanpa penghuni ini, setidaknya ia membutuhkan sebuah rumah untuk tempat bernaung jika memutuskan akan tinggal di tempat ini. Lucu rasanya membayangkan seorang Uchiha yang memilih tinggal di tengah hutan sendirian padahal dulunya ia punya mimpi untuk membangun klannya lagi.
    Langkah Sasuke terhenti saat didepannya terlihat sebuah cahaya temaram dari sebuah rumah yang dikelilingi dengan banyak tanaman pangan dan buah-buahan. Rumah sederhana namun kuat yang dibangun dari beberapa batang pohon yang ditebang disekitarnya.
    Ragu Sasuke mulai mendekati rumah itu. walalu terlihat sederana namun kehangatan terpancar dari ruman itu membuat Sasuke tak pernah ingin pergi jauh dari bangunan mungil ditengah hutan yang lebat ini.
    Tok… tok… tok…
    Ketukan pelan ia berikan pada pintu kayu yang di buat sedemikian rupa dengan ukiran melingkar khas lambang Uzumaki dipinggirnya. Sasuke yakin orang yang tinggal di dalamnya pasti salah satu warga Uzugakure yang selamat dari penyerangan.
    Tak berselang berapa lama pintu itu terbuka dengan perlahan menimbulkan deritan yang tak terlalu kencang. Dari dalam rumah itu terlihat seorang pemuda bersurai pirang jabrik dan panjang dibagian belakang hingga dipinggang sedangkan matanya berwarna biru sapphire indah dan kulit tan kecoklatannya tengah berdiri dihadapan Sasuke denga  mata yang membulat terkejut, yukata sederhana berwarna orange dengan lambang Uzumaki bergaris merah menghias disetiap sisinya membuat sosok itu sangat terlihat cantik dimata Sasuke.“Na-Naruto?”
    “Te-teme!?”
    .
    Siapapun pasti akan terkejut jika bertemu dengan orang yang dirindukan namun tak ingin dijumpai. Hal itulah yang dirasakan oleh Naruto sekarang. Duduk berahadapan dengan Sasuke diruang tamu dalam rumah kecil yang dibuatnya, benar-benar canggung. Ingin rasanya Naruto berteriak histeris memcahkan keheningan ini namun ia tak berani melakukannya.
    “Kau- sedang apa disini?” sebuah pertanyaan akhirnya meluncur dari mulut Naruto, berusaha melenyapkan kesunyian yang ada di sekitanya.
    “Hn.” Namun jawaban yang didapatnya berbeda dengan yang ia harapkan, ini membuatnya frustasi.
    “Arggghhhh! TEME! Jangan jawab aku dengan bahasa tak jelas dan absurd-mu itu! Jawab pertanyaanku dengan benar!” akhirnya teriakan frustasi itu meluncur juga dari mulut Naruto, Sasuke yang mendengar terikana kencang itu cukup terkejut tapi berhasil disembunyikan oleh ekspresi stoic-nya. “Berisik Dobe.” Ujarnya menggaruk lubang telinga kirinya dengan kelingkin dengan ekspresi acuh membuat wajah Naruto memerah karena kesal.
    “Harusnya aku yang bertanya kenapa kau disini dobe. Kenapa kau menolak posisi Hokage dan berhenti mejadi ninja?” pertanyaan bernada malas yang Sasuke ucapkan berhasil membuat Naruto membisu. Duduk diam dengan kepala menunduk sedangkan tangannya memeras kain yukata yang menutupi pahanya.
    Sasuke yang tak mendapatkan jawaban memandang Naruto penuh tanda tanya hingga matanya membulat saat melihat tubuh Naruto bergetar. Dengan sedikit canggung Sasuke menyentuh pundak Naruto membuat si pirang terkejut namun tak menghindar. Perlahan kepala pirang itu menengadah memperlihatkan mata sapphire yang mendung. “Ada apa?” tanaya Sasuke berusaha agak lembut mandekati Naruto dan duduk disampinganya. “Katakanlah.” Lanjutnya lagi.
    “…” tak satupun kata yang dikeluarka oleh Naruto, ia hanya terdiam dengan air mata yang masih menetes, tanpa sadar telah menyender pada pundak Sasuke yang ada sangat dekat disampingnya. “Katakanlah Naru. Jangan kau tahan.” Ucap Sasuke. Tangan putihnya yang besar mengelus rambut jabrik nan halus Naruto menenangkan, menunggu jawaban yang akan diucapkan oleh sahabat pirangnya.
    Ia sadar sikapnya ini sangat berbeda dengan sikap yang selama ini ia tunjukkan. Tapi ini sudah berlangsung sanagt lama dan manusia pasti berubah seiring berjalannya waktu. Mungkin Sasuke bukanlah orang yang romantic dan pandai merayu tapi setidaknya ia telah belajar untuk mengerti bagaimana keadaan Naruto dan tidak lagi bersikap sedingin dulu. Itu karena ia tak ingin sahabatnya ini akan meninggalkannya seperti orang-orang yang dulu mengaku sebagai temannya namun tak bisa menerima sikap buruknya. Naruto satu-satunya yang tetap menerima Sasuke sebagai teman, sebagai sahabat bahkan sebagai saudara. Tak ada satupun orang yang menerima Sasuke dengan tulus sepertihalnya Naruto. Oleh karena itu ia sekarang akan belajar untuk berubah, belajar untuk bersikap sedikit lembut pada sahabat pirangnya ini. Yah, walau hanya sedikit setidaknya ia telah mencoba untuk berubah.
    “Pa-para tetua tidak setuju aku menjadi Hokage.” Jawab Naruto lirih, tubuhnya sudah tak lagi bergetar dan isakan kecil hannya samar-saar terdengar. Tampaknya ia sudah mulai tenang dan mau bercerita, itu sangatlah melegakan bagi Sasuke. “Mereka bilang, mereka tak mau nantinya membahayakan Konoha saat aku nantinya kehinlangan kendali atas kekuatanku. Para Daimyo dan Kage yang lain juga tak bisa menerima. Mereka bilang jika aku menjadi Hokage dengan kekuatanku yang sebesar ini, mereka takut nantinya keseimbangan Lima Negara Elemental akan hilang.”lanjut Naruto lagi, kini ia sudah tak lagi bersandar pada pundak Sasuke, sementara si surai raven tengan menyerahkan segelas air yang ia ambil dari meja didepannya.
    “Lalu kenapa kau meninggalkan Konoha?” tanya Sasuke lagi, kini menyerahkan gelas yang diambilnya kepada Naruto. Ia menunggu dengan sabar saat Naruto meminum air yang diberikannya sambil mengubah posisi duduknya sedikit lebih rileks.
    “Ka-kau sudah tahu hukuman apa yang akan kau terima jika tertangkap?” tanya Naruto menatap Sasuke dengan pandangan sendunya yang dibalas dengan anggukan singkat oleh si raven. “Aku meninggalkan Konoha karena aku merasa suatu saat nanti pasti aku akan diberikan misi untuk menangkap mu. Kau tahu aku tak pernah ingin kau mati. Oleh karena itu aku memilih untuk meninggalkan Konoha, aku takkan mengejarmu lagi. Lebih baik kau ada di luar Konoha daripada ku bawa ke Konoha tapi pada akhirnya kau akan dihukum mati.” Kata Naruto, tangannya terkepal erat sampai buku-buku jarinya memutih. Melihat hal itu Sasuke perlahan berusaha melepas kepalan tangan Naruto dengan perlahan takut menyakiti sahatnya itu.
    “Karena itu aku datang ke hutan Uzugakure ini. Tempat ini lebat dan penuh dengan binatang, tempat ini sangat menyesatkan bagi orang yang tak pernah datang ketempat ini. Dengan berada disini aku bisa menghindari kontak dengan Lima Negara Elemental. Aku tak perlu takut diberikan misi mendadak untuk menangkapmu walau aku sudah menyerahkan surat pengunduran diri pada Tsuade baa-chan.” Katanya lagi dengan senyuman lembut namun terlihat sendu dimata onix Sasuke. Sementara Sasuke yang mendengar rentetan penjelasan dari Naruto hanya terdiam, sahabatnya ini sudah berkorban sangat banya untuk dirinya dan ia belum pernah memberikan balasan apapun padanya.
    “Kau berkorban terlalu banyak untukku dobe. Tak seharusnya kau berbuat seperti ini.” Ujar Sasuke, tangannya yang awalnya hendak melepas genggaman erat Naruto kini malah sebalinya menggenggam tangan berkulit tan itu dengan lembut. Setumpuk rasa penyesaln dan bersalah bercekol dihatinya.
    “Mana mungkin aku membiarkan sahabat sekaligus saudaraku mati tanpa bisa kutolong.” Ucap Naruto dengan kepalanya yang menunduk membuat Sasuke tak dapat melihat ekspresi wajahnya. ‘Terlebih lagi kau sangatlah berharga bagiku.’ Ucapan lirih berupa bisikan itu samar-samar terdengar oleh telinga Sasuke membuat sang reven terkejut. Dengan senyum yang tanpa sadar terlukis diwajahnya Sasuke mengangkat wajah Naruto membuat sang Namikaze-Uzumaki terakhir dapat melihat senyum lembut yang sebelumnya tak pernah ada di wajah stoic si bungsu Uchiha.
    “Terimakasih.” Lirih Sasuke dan sebuah ciuman tanpa adanya hasrat untuk medominasi tercipta. Awalnya Naruto cukup terkejut dengan mata sapphire-nya yang membulat. Namun saat melihat pancaran mata Sasuke yang tampak begitu lembut Naruto menyerah dan memilih untuk membalas ciuman hangat itu.
    ††††
    Malam itu Sasuke memutuskan untuk meginap dirumah Naruto, ia tak menanyakan hal-hal mengenari kenapa Naruto berhenti menjadi ninja dan meninggalkan Konoha. Tak ada gunanya mengungkit-ngungkit hal yang sudah terlewat. Kini mereka berdua tengat terbaring di ranjang sempit Naruto setelah sebelumnya menghabiskan makan malam dan mandi yang dilakukan di sungai yang tepat berada dibelakang rumah.
    “Sasuke. Setelah ini kau mau kemana?” tanya Naruto saat ia tak bisa memejamkan matanya karena masih memikirkan kejadian hari ini dimana dia bertemu dengan sang sahabat. Ia menatap Sasuke yang tidur disampingnya dengan posisi terlentang sedangkan ia sendiri tengah meringkuk menghadap si raven.
    “Aku tak tahu. Awalnya aku memutuskan untuk menetap di hutan ini namun aku belum memiliki tempat yang layak untuk dijadikan tempat tinggal.” Ujar Sasuke menatap Naruto lembut, menatap lurus pada permata sappire indah yang selalu memikatnya.
    “Maksudmu sebuah rumah? Kalau mau, kau bisa tinggal disini.” Ucap Naruto tanpa sadar dengan tangannya yang menggenggam erat selimut yang menghangatkan mereka. “Bu-bukan berarti aku ingin kau tinggal disini.” Ujar Naruto kemudian dengan wajahnya yang memerah membuat Sasuke yang menyadarinya tersenyum lembut dan mengubah posisi tidurnya menjadi menghadap si pirang. Dengan perlahan ia benggam tangan si pirang yang masih memegang erat selimutnya. “Aku tak memiliki rumah. Jadi tak masalah jika aku tinggal disini denganmu kan.” Ucapnya kemudian dengan senyum diwajahnya yang membuat wajah Naruto semakin memerah.
    “Ya-yah, itu terserah mu Teme.” Ucap Naruto menutup seluruh kepalnya dengan selibut. Tampaknya ia sangat malu, atau malah merasa senang?
    “Dasar Dobe.” Ucap Sasuke lalu dengan nekat memeluk kepal Naruto yang tertutup selimut membuat Naruto tersentak namun tak melawan. Keheningan menyelimitu mereka dan hanya deru nafas Naruto yang terdengar cukup keras namun tenang. ‘tampaknya ia sudah tertidur’ batin Sasuke sembari membuka selimut yang menutupi kepala Naruto. Sebuah senyum lagi-lagi terlihat di wajah si raven saat melihat Naruto telah tertidur dengan nyenyaknya menunjukkan ekspresi damai nan polos yang sudah lama tak dilihat oleh Sasuke. “Terimakasih dobe. Kali ini aku yang akan selalu ada disampingmu.” Ujar Sasuke kemudian mengecup bibir lembut yang sedikit terbuka itu. Setelah memastikan posisi Naruto nyaman dalam dekapannya, barulah Sasuke perlahan-lahan tertidur menyususl sang piarng menuju buai dunia mimpi.


    † † FIN † †
  • Angel Tears Wasted

    0


    %” Angel Tears Wasted%

    .,.

    By Ayuni Yukinojo

    .,.

    Black Butler© Yana Toboso

    Pairing: Sebastian/Ciel, Claude/Alois


    Bab 1;
    Awal Pertemuan.

              Kisah ini berawal ketika lahirnya sepasang bayi malaikat kembar tapi dengan sayap yang bebeda di negeri langit. Sang kakak bernama Alois Ranch Phantomhive memiliki sayap putih bersih dan rambut pirang berkilauan seperti malaikat pada umumnya dengan mata indahnya yang secerah langit biru, sedangkan sang adik yang bernama Ciel Vinc Phantohive lahir dengan sayap hitam pekat dan rambutnya yang kelabu bukan hanya sayapnya bahkan kuku jari tangan dan kakinyapun berwarna hitam mata sappire sedalam lautannya menitikkan air mata untuk tangisan pertamanya. Akibat perbedaan itulah sejak kecil perlakuan yang di terima Ciel berbeda dangan kakaknya. Keberadaannya selalu di anggap pembawa sial dan di jauhi. Dia tidak pernah mendapat kasih sayang dari orang tuanya, sementara di lingkungannya dia selalu di cemooh, di ejek, di hina, di olok-olok bahkan di siksa, tetapi orang tuanya samasekali tidak memperdulikannya itu membuatnya tumbuh dengan kepribadian yang pemurung dan tertutup.
              Bertahun-tahun telah berlalu Ciel dan Alois telah tumbuh menjadi malaikat yang cantik. Setiap harinya ada saja malaikat yang mengajak Alois kencan. Tapi hari-hari Ciel berbeda, setiap hari ia harus selalu menerima cemoohan dan tatapan dingin dari malaikat lain sehingga ia lebih suka mengurung diri di kamarnya sambil membaca buku-buku sihir. Di suati malam yang tenang tiba-tiba terdengan lonceng peringatan bahaya dari arah pusat kota. Ciel yang saat itu sedang membaca buku sihir hitam di kamarnya di perintahkan orang tuanya untuk menjemput Alois yang sedang berada di rumah temannya.
              Ketika dalam perjalanan pulang, mereka melewati Jln. Antonio yang saat itu dalam keadaan sepi tanpa satupun pejalankaki dan yang lainya, jendela gedung-gedung yang bedarada di pinggir jalan di tutup rapat tanpa ada satupun penerangan yang terlihat. Tiba-tiba mereka mendengan suara jeritan dari arah gang kecil yang gelap di antara dua bangunan bertingkat. Alois yang penasaran memberanikan diri untuk memasuki gang kecil itu walaupun Ciel sudah memperingatkannya bahwa ada bahaya di sekitar kota saat ini, tapi Alois tetap tidak memperdulikanya. Dengan perasaan cemas Ciel memasuki gang itu mengikuti kakaknya. Samar-samar terlihat tubuh seorang malaikat tergeletak bersimbah darah di lantai gang.
              Dengan cepat Ciel memeriksa keadaan malaikat itu, sementara Alois hanya berdiri ketakutan. Samar-samar terdengar suara dari mulut malaikat yang terluka itu, Ciel pun mendekatkan telinganya.
              “Ce….pat….la….ri….” kata malaikat itu lirih sebelum dia menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya.
              “Kyyaaaaa…..!!!!!!” teriakan itu berasal dari Alois, secara sepontan Ciel menoleh kearah kakaknya. Di lihatya wajah kakak kembarnya itu tegang dan ketakutan menatap lurus kearah kegelapan gang. Dari arah kegelapan di depan Ciel perlahan-lahan terdengar suara geraman dan langkah kaki yang berat. Perlahan-lahan mahluk itu mulai mendekat, Ciel tetap duduk diam sambil memangku tubuh malaikat tak bernyawa itu, sedangkan Alois berdiri ketakutan dan perlahan-lahan melangkah mundur menjauhi kegelapan, setelah cahaya cukup menerangi tubuh mahluk itu barulah Ciel sadar mahluk apa yang berada di depannya itu.
              “MON….MONS….TER…!!!!!”bisiknya pelan, lalu tiba-tiba semua menjadi gelap dan hanya jeritan Alois saja yang sempat di dengarnya.
              Taklama kemudian kegelapan itupun berlalu, di lihatnya suasana di gang itu tampak mengerikan. Banyak darah berserakan di dalam gang itu, sementara di pintu masuk gang tampak Alois duduk di tanah, tubuhnya gemetar menahan takut. Samar-samar terdengar suara orang-orang mendekat, Ciel tetap tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi saat kegelapan itu berlangsung. Para warga yang baru datang segera membopong Alois menjauhi gang dan mengamankan tubuh malaikat tak bernyawa itu, dua lelaki yang mengenakan pakaian serba putih mendekati Ciel dan mengikat kedua tangan dan sayapnya dengan tali.
              Ketika terbangun dari tidurnya Ciel tampak kebingungan, dia berada di sebuah ruangan yang di pagari dengan besi berkarat, tangannya di ikat dengan tali dan sayap kiri dan kanannya di ikat dengan rantai sehingga sulit baginya untuk menggerakkan sayapnya. Seorang lelaki paruhbaya berbadan tegap yang mengenakan pakaian serba putih datang membawa senjata dan membuka pintu yang memagari Ciel.
              “Keluar! Sidang kasus pembunuhan yang kau lakukan akan segera di mulai!!”kata laki-laki itu sambil menyeret Ciel keluar ruangan.
              Setelah Ciel keluar ruangan laki-laki paruh baya itu menuntun Ciel melewati lorong panjang dan gelap, terus berjalan hingga tiba di sebuah ruangan besar berwarna putih bersih. Jauh didepannya tampak seorang malaikat tua bersayap putih besar duduk dengan tenang memejamkan matanya. Ciel terus berjalan menuju sebuah kursi yang berada tepat di tengah ruangn dan kursi itu berada tepat di depan malaikat tua yang memejamkan matanya itu. Sambil terus berjalan menuju kursinya tampak di sebelah kiri Ciel malaikat sedang duduk dan sibuk membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan hukuman. Sedangkan disebelah kanannya tampak malaikat-malaikat lain yang sedang duduk terdiam memandangnya dengan tatapan dingin. Setelah tiba di kursinya barulah Ciel sadar bahwa dirinya berada di sebuah persidangan dan malaikat tua yang berada di depannya adalah sang Hakim Agung.
              “Ciella Vinc Phantohive”kata malaikat tua itu membuka matanya perlahan.
              “Ya, Yang Mulia.”
              “Silakan duduk.”(Ciel duduk di kursinya.) “Para penuntut dan pembela silakan persiapkan laporan kalian.” Kata malaikat itu lagi kepada para malaikat yang duduk di sisi kiri dan kanan.
              “Yang Mulia, izinkan saya memulai terlebih dahulu.”kata seorang malaikat dari sisi kiri.
              “Silakan Ketua Penuntut Umum.”
              “Ciella Vinc Phantohive. 3 hari yang lalu saat lonceng peringatan kota berdentang apa yang sedang kau lakukan di gang kecil di pinggiran Jl. Antonia?”
              “Aku…”
              “Benarkah di tempat itu kau membunuh seorang malaikat yang disaksikan oleh kakakmu sendiri.”malaikat itu memotong perkataan Ciel.
              “Tidak…. Aku tidak membunuh siapapun.”
              “Ada bukti atau saksi yang bisa kau jadikan pembelaan?”
              “Kakakku…. Aku bersamanya waktu itu, dia pasti bisa menjelaskannya.” Ciel berusaha membela diri, ia tegang dan ketakutan.
              “Maaf Ciel. Kami sudah mencari berbagai macam bukti untuk membelamu termasuk menanyakan kejadian ini kepada kakakmu. Tapi kakakmu terlalu shok akan kejadian itu sehingga tidak bisa di mintai keterangan, dia juga ketakutan sekali setiap kami menyebutkan namamu.” Kata seorang malaikat di sisi kanan Ciel.
              “Berarti tak ada sedikitpun bukti yang bisa membelamu.”kata malaikat di sisi kiri.
              “Tapi tak mungin dia bisa membunuh. Dia bahkan takpernah tau bagaimana cara bertarung dan juga menggunakan sihir.”kata malaikat di kanan.
              “Memangnya ada orang selain aku yang mengetahui seberapa besarnya kemampuan seorang malaikat yang terlahir kembar? Apalagi dia jelas-jelas memiliki perbedaan yang besar dengan kita!”
              “Itu tidak bisa dijadikan alasan.”
              “Tentusaja bisa. Harusnya setiap malaikat yang terlahir kembar harus di karantina selama beberapa tahun untuk mengetahui seberapa besar kekuatan yang di milikinya. Bila kekuatanya itu bisa membahayakan orang lain maka ia harus di didik dan di kendalikan. Tapi dia malah di biarkan berkeliaran bebas padahal sudah jelas dia berbeda. Orang-orang pasti akan merasa bahwa keadilan di negeri ini sudah mulai memudar.”
              “Tapi kalau orang tuanya tidak mengizinkan kita tidak dapat memaksa.”
              “Kalau anak kembarnya normal mungkin kita tidak bisa. Tapi jika anaknya adalah salah satu kaum Iblis, kita punya hak untuk mengamankannya bahkan membinasakannya. Kita tidak bisa membiarkan para warga menjadi resah karena selalu di hantui rasa takut, kapan Iblis ini akan kehilangan kendali.”
              “Tunggu…. Apa maksudmu denagn kaum iblis?”Tanya Ciel.
              “Di Negeri langit ini tak ada satupun malaikat yang memiliki sayap hitam sepertimu selain kaum Iblis. Dan tak mungkin di ragukan lagi bahwa kau juga termasuk kaum Iblis itu. Malaikat penghianat yang bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kekuatan.”
              “Hentikan Reon!!!”bentak malaikat di sisi kanan.
              “Aaaahh…. Kau tersinggung ya Mike? Karena malaikat yang berhianat itu adalah kakakmu sendiri, si Michel.”
              “Bukan begitu!!”
              “Kalua bukan lalu bagaimana lagi? Kakakmulah yang menghianati kaum kita dan membunuh kakak kembarku Leon.”’
              “Tidak…. Kakakku tidak berhianat. Dia….”
              “Kalau tidak berhianat memangnya apa lagi!!! Dia menjual jiwanya pada Iblis dan meninggalkan kita. Kau lihat sendiri sayap besarnya yang dulunya bersinar terang berubah menjadi hitam pekatkan!! Anak ini Ciella Vinc Phantohive sejak lahir ia telah bersayap hitam, sebelum dia menampakkan wujudnya di negeri ini dia telah bersekutu dengan Iblis, dan mungkin saja lonceng peringatan itu berbunyi karena dialah yang memanggil monter itu datang kemari.”
              “I…. itu….”
              “Yang Mulia Hakim Agung. Kita tidak bisa membiarkan anak ini terus berada di sini, bisa-bisa seluruh penghuni Negeri Langit mengamuk. Kita harus mementingakan keamanan Negeri ini. Tolong pertimbangkanlah Yang Mulia.”
              “Sebenarnya aku tak ingin mengambil keputusan ini. Tapi….”(malaikat tua itu menutup matanya.) “Keamanan negeri ini lebih penting. Maaf Ciel, kau harus menerima hukuman atas pembunuhan itu, baik itu perbuatanmu ataupun bukan.”
              “A…. Apa? Tapi.... Aku tidak membunuh siapapun!!”
    “Ciella Vinc Phantohive. Atas tuduhan pembunuhan yang terjadi tiga hari yang lalu, kau dihukum menerima seratus cambukan dan di buang ke-Negeri Bawah/ Negeri Manusia malam ini juga melalui Gerbang Selatan. Kau takkan bisa kembali selama kegelapan masih menguasai hatimu.”
    “Tu…. Tunggu! Ini tidak adil! Aku tidak membunuh, dan aku tidak tahu menahu tentang sayap hitam ini. Aku tidak bersalah.”
    “Keputusan telah di ambil. Kau akan di usir dari negeri ini Iblis.”kata malaikat yang bernama Reon itu, sementara malaikat Mike hanya diam saja.
    Setelah menerima cambukan sebanyak seratus kali malam harinya Ciel di bawa menuju Gerbang Selatan. Orang tuanya tidak ada yang hadir untuk menyampaikan salam perpisahan.
    “Tuan Pengawal. Dimana orang tuaku?”
    “Mereka sedang menemani kakakmu di rumah sakit. Mereka bilang takbisa kesini karena adikmu takut di tinggal sendiri.”kata pengawal yang membawa Ciel.
    “Oh…. Begitu rupanya. Maukah kua menyampaikan kata-kataku kepada keluargaku?”
    “Baiklah. Apa itu?”
    “Tolong sampaikan pada mereka bahwa aku sangat berterima kasih karena telah di rawat sampai aku sebesar ini.”
    “Ya. Akanku samapaikan itu. Sekarang pergilah.”
    “Terima kasih.” Setelah berkata demikian Ciel melewati Gerbang Selatan dan menghilang tak pernah terlihat lagi.
    Dibawah Negeri Langit adalah temapat di mana para manusia tinggal dan menjalani kehidupannya. Negeri itu merupakan tempat yang penuh penderitaan, di mana keadilan hanya memihak mereka yang kuat dan kaya, sedangkan orang-oarang yang lemah dan miskin hanya menjadi sasaran pelampiasan saja.
    Malam itu Ciel turun ke dunia manusia dengan keadaan tubuh yang lemah dan terluka. Dia tiba di sebuah hutan yang gelap tanpa ada sedikitpun cahaya bulan yang berhasil masuk sampai kedasar hutan. Dengan tertatih-tatih Ciel manyusuri dasar hutan, perlahan-lahan hujan turun disertai gemuruh petir dan kilat yang menyambar-nyambar. Ciel terus berjalan menyusuri hutan untuk mencari tempat aman untuk berteduh. Sayapnya yang terluka akibat cambukan masih terasa sakit dan mengeluarkan darah. Dia akhirnya tiba di sebuah Gereja tua yang kotor dan gelap. Perlahan-lahan dia memasuki gereja, di perhatikannya ruangan gereja itu dengan seksama, lantai tua berdecit , tembok kusam karena jamur, lampu gantung, langit-langit dan setiap sudut ruagan di penuhi sarang laba-laba, kursi-kursi yang rapuh penuh debu dan banyak tikus berkeliaran. Di ujung ruangan berdiri sebuah patung malaikat besar dengan sayap terbentang luas, patung itu dipenuhi jamur, debu dan sarang laba-laba. Di bawah patung itu terdapat sebuah meja tua  yang usang berdebu, di sisi kirai dan kanan meja itu tampak vas bunga tua yang di dalamnya terdapat beberapa tangkai bunga yang sudah layu.
    “Sebenarnya apa salahku? Jangankan membunuh, aku bahkan belum pernah menyiksa binatang. Apakah perbedaan begitu berarti di dunia ini. Apakah orang yang berbeda itu sama dengan Iblis? Ini samasekali tidak adil, aku takkan pernah memaafkan mereka semua. Kalau mereka mengatakan bahwa aku bersekutu dengan Iblis karena sayap hitamku ini, maka aku akan memastikan bahwa apa yang mereka ucapkan itu menjadi kenyataan. Aku mungkin belum pernah menggunakan sihir. Tapi setidaknya aku tahu banyak mengenai sihir, akanku pastikan semua malaikat yang berada di negeri ini mati.”kata Ciel dengan penuh kebencian aura kegelapan menyelimuti tubuh ringkihnya mata sapphire-nya yang indah bersinar merah penuh amarah.
    ────•••────
    Bertahun-tahun telah berlalu di tengah hutan tampak  seorang pemuda berambut hitam dengan gaya harajukunya yang di belah tengah sedang mengejar rusa jantan besar yang berlari jauh memasuki kedalaman hutan. Semakin lama semakin jauh memasuki hutan dan tanpa di sadarinya ia telah terpisah dengan rombongannya yang lain. Pemuda itu terus memasuki hutan hingga akhirnya ia kehilangan buruannya.
    “Sial!!! Ayo kita cari buruan yang lainnya…”kata pemuda itu sambil menoleh kebelakang tapi tak ada siapapun di belakangnya mata merah ruby-nya berkilat kesal.
    “Astaga! Aku bukan hanya kehilangan buruanku, tapi aku juga terpisah dengan teman-teman. Sial benar aku hari ini.” Kata pemuda itu kesal, ia pun memutuskan untuk mengakhiri perburuan dan memilih mencari teman-temannya.
    Seharian pemuda itu terus menyusuri hutan tidak makan dan tidak minum tubuhnya benar-benar sudah kelelahan, langit juga semakin gelap dan udara mulai dingin  terdengar pula gemuruh Guntur samar-samar dari arah utara. Di dasar hutan, pemuda itu terus berjalan, perlahan-lahan hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras disertai gemuruh Guntur dan petir yang menyambar-nyambar. Sampai pada pucak kelelahannya dia terjatuh di atas semak belukar yang penuh duri, di lihatnya lurus kedepan tampak sebuah bangunan tua yang di penuhi lumut, semak dan tanaman merambat. Dengan sedikit kekuatan yang tersisa pemuda itu berjalan tertatih-tatih memasuki bangunan tua itu. Bau apek karena lembab menyengat hidungnya ketika baru memasuki ruangan yang gelap. Butuh waktu beberapa detik agar dia bisa terbiasa dalam kegelapan dan melihat kesekeliling. Lantai yang berderit ketika di injak, kursi-kursi yang reot, dinding yang kusam, jendela dan langit-langit yang penuh dengan sarang laba-laba. Tepat beberapa meter di depan pemuda itu tampak patung malaikat berdiri kokoh walau sedikit usang. Malam itu karena merasa iba pemuda berambut raven membersihkan patung malaikat yang berdebu itu, setelah usai barulah ia tertidur kelelahan di temani hujan deras dan gemuruh Guntur.
     Suara kicauan burung dan sinar matahari yang hangat membangunkan pemuda itu dari tidurnya, ia terbaring lemas di lantai di sampingnya sudah ada beberapa buah-buahan dan air minum, pemuda yang kelaparan itupun langsung memakan buah-buahan itu dengan lahapnya.
    “Apa kau menikmati buah-buahannya?”terdengar suara lembut dari arah patung malaikat yang ada di ruangan itu. Pemuda itu terkejut dan terus-menerus memandangi patung itu dengan penuh kewaspadaan. Tiba-tiba muncul sosok wanita cantik bersayap dan berpakaian serba hitam dari patung malaikat itu, wanita itu melayang dengan anggun di udara mendekati pemuda yang masih terkejut dengan kehadirannya.
    “Aku lihat kau tampak sangat kelelahan tadi malam, jadi aku carikan buah-buahan segar untukmu. Kalau boleh tahu siapa namamu?”tanya wanita itu lagi.
    “Na-namaku Sebastian, Sebastian Michel Michaelis. Panggil saja Sebastian, kau sendiri siapa?”
    “Ahh, perkenalakn namaku Ciel Vinc Phantohive, panggil saja Ciel. Ngomong-ngomong kenapa anda bisa berada di hutan ini? Hutan inikan sangat lebat dan sulit untuk di jelajahi.”
    “Sebenarnya kemarin aku sedang berburu dengan adikku tapi aku terpisah dari rombongan karena terlalu asik mengejar buruan, tanpa ku sadari aku sudah tersesat di tengah hutan. Kau sendiri kenapa bisa berada disini? Di lihat dari penampilanmu kau sepertinya bukan gadis biasa ya.”
    “Gadis? Aku ini laki-laki tuan! Aku memang tinggal di sini sudah cukup lama dan tak bisa keluar dari hutan ini karena tak tahu apa yang harus aku lakukan di luar sana. Aku memang bukan manusia biasa.”
    “Ah, maaf. Aku kira kau perempuan. Dengan wajah secantik itu sudah jelas aku salah. Kalau begitu kau malaikat ya?!”kata Sebastian menerka-nerka.
    “Apakah menurutmu ada malaikat yang bersayap hitam sepertiku di dunia ini?”
    “Aku sih tidak tahu karena baru pertama kali ini aku melihat malaikat secara langsung, tapi apa bedanya yang bersayap hitam dengan yang lainnya? Buakankah semua itu sama saja, hanya warnanya saja yang membedakannya.”
    “Ufu…fu..fu..fu… kau benar-benar orang yang aneh. Biasanya semua orang pasti kan tahu bahwa malaikat yang bersayap hitam itu adalah golongan iblis dan pasti mereka akan lari ketakutan, tapi kau sama sekali tidak takut ataupun cemas ya!”
    “Sebenarnya aku sih tadi takut. Tiba-tiba ada mahluk aneh terbang kearahku, aku benar-benar terkejut. Tapi setelah beberapa lama aku rasa kau bukan orang yang jahat.”
    “Kau terlalu mudah percaya dengan orang yang baru kau kenal, kau bisa di bohongi lo.”
    “Yah, mungkin itu juga yang menyebabkan aku bisa ada di sini sekarang.”
    “Memangnya ada apa? Kalau bisa aku pasti akan membantumu.”
    “Mungkin yang menyebabkan aku tersesat di hutan ini adalah kelalaian ku sendiri tapi aku yakin adikku pasti ikut campur dalam hal ini.”
    “Kau tidak akur dengan adikmu ya?”
    “Yahh, aku dan dia kan bukan saudara kandung jadi sudah jelas ada perbedaan, di tambah lagi aku putra tertua dan ibuku sudah meninggal jadi dia dan ibunya pasti ingin menyingkirkanku untuk mendapatkan harta Ayahku.”
    “Kau orang kaya ya? Mau ku antar keluar dari hutan ini?”
    “Ehh, apa tidak merepotkan?”
    “Sama sekali tidak, sebenarnya aku juga tidak punya tujuan ataupun urusan di hutan ini, hanya saja aku bingung kalua keluar dari hutan apa yang harus aku lakukan di luar sana.”
    “Bagai mana kalau kau ikut denganku saja? Karena aku putra tertua baik ibu tiri maupun adikku takkan bisa melawanku sedangkan Ayahku teralu sibuk mengurusi perkerjaannya jadi dia pasti takkan perduli denganku.”
    “Apa benar tidak apa-apa?”
    “Ia, tenang saja. Akan ku perlihatkan dunia yang indah di luarsana padamu. Pasti menyenangkan.”
    “Baiklah, aku akan ikut dengan mu.”
    TBC



  • KinGitsune (1)

    0

    ***
    Summary
    Dia yang ditinggalkan, dia yang di kucilkan, dia yang dicampakan, dia juga yang dibuang.
    Melenyapkan monster yang bersemayam dalam tubuh, melenyapkan iblis yang mencemaskan kehidupan.
    “Aku tak pernah ingin tubuhku dijadikan wadah untuk moster rubah ekor Sembilan itu. aku sampai kapanpun akan selalu membenci mahluk itu.”///”Bagiku, suatu kehormatan bisa menjadi wadah bagi sosok Rubah berekor Sembilan. Aku tak pernah menyesal, justru aku sangat berterima kasih atas hal itu.”
    Mereka hanya melihat apa yang ada di depan mata. Membuang sosok itu tanpa tahu bahwa mereka telah membuang sumber kebahagiaan, pembawa kedamaian, pemberi keberuntungan.

    ***
    **
    *
    Malam itu bulan purnama menyinari desa Komoha yang tengah mengadakan festival Kuil Inari. Tepat pada malam yang bertanggal sepuluh oktober itu pula di sebuah gua di pinggir desa itu tengah berlangsung kelahiran sepasang bayi kembar dari pasang ternama di desa itu, Namikaze Minato yang baru saja menjadi seorang Ayah tengah menggendong seorang bayi bersurai hitam dengan kulit yang msih kemerahannya sedangkan sang ibu baru Uzumaki Kushina tengah memandang sosok bayi bersurai pirang dengan kulit kemerahannya yang tengah dimandikan oleh perawat yang membantu peroses persalinannya.
    “Kushina-chan, lihat putra pertama kita. Dia sangat tampan dan sehat. Matanya juga indah.” Ujar Minato menyodorkan sang bayi bersurai htam ditangannya.
    “Ya, Minato-kun. Dia sangat tampan dan sehat, aku juga bisa merasakan aliran cakra yang besar mengalir dalm tubuhnya. Apa nama yang akan kau berikan pada malaikat kita yang satu ini Minato-kun?” Tanya Kushina sembari membelai surai hitam sang anak penuh saying.
    “Bagaimana jika Menma? Lalu sang adik kita beri nama Naruto.” Usul Minato dengan senyum cerianya memandang lembut sang putra sulung.
    “Nama yang bagus. Kita gunakan saja itu.”
    Perhatian Kushina yang tengah memandang putra sulungnya teralihkan saat Biwako sang istri Hokage ketiga datang bersama perawat yang membawa anak bungsunya.
    “Bagaimana keadaaan Naruto Biwako-sama?” taya Minato sambil menidurkan Menma disamping Kushina.
    “Keadaannya cukup menghawatirkan. Tekanan cakra yang dimilikinya sangat lemah dan kondisi fisiknya juga tak begitu kuat. Aku rasa itu sibabkan oleh cakra Kyuubi yang sedikit bercampur dalam tubuhnya.” Jelas Biwako membaca lembaran kertas yang berisi data kesehatan sang putra bungsu.
    Saat itu juga Minato dan Kushina merasa takdir tengah mempermainkan mereka. Mereka dinberikan dua putra yang sangat manis tapi tetap tak sempurna. Betapa Kushina merasa sangat membenci Kyuubi saat itu juga karena telah menyakiti putra bungsunya namun keterkejutan mereka berdua terintrupsi saat mereka mendengar teriak kesakitan dari Biwako dan sang perawat disusul dengan suara bariton yang mengejutkannya.
    “Serahkan Kyuubi atau anak bungsumu akan mati Yondaime Hokage.” Ancam sosok bertopeng orange sepiral dengan pakaian serba hitam yang tengah menodongkan kunai kearah Naruto.
    “A-ap- Siapa kau!” seru Minato penuh amarah

    Kingitsune
    †††
    By : Ayuni Yukinojo
    †††
    Naruto © Masashi Kishimoto
    †††
    Pair : ?/Naruto
    Warning :
    Typo, OOC, EYD berantakan, menjurus Shonen-ai,

    Delapan tahun kemudian.
    Seorang anak bersurai pirang kini tengah bermain ayunan sendirian di sebuah taman di desa Komoha. Surai pirang cerahnya bergerak lembut mengikuti arah angin yang bertiup lembut, mata biru sapphire indahnya tambah memancarkan kehangatan penuh keceriaan.
    Ia bermain sendiri di sana. Tak ada yang menjaga, tak ada yang menemani. Lebih tepatnya tak ada yang mau dan berani untuk melakukan hal itu. Sering bahkan setiap hari ia selalu mendengar orang-orang mencacinya, menghinanya dan menyakitinya. Mengatakan ia monster, mengatakan ia pembunuh, mengatakan ia pembawa sial dan mengatakan ia jelmaan monster rubah.
    Namun ia tak pernah mengambil pusing akan perkataan menjijikkan itu, ia tak pernah melaporkan kekerasan yang di terimanya kepada Hokage atau yang lainnya, ia tak pernah melakukannya bukan karena tak ingin, tapi itu semua percuma. Tak ada yang akan membelanya, tak ada yang akan melindunginya. Bahkan Ayahnya sekalipun.
    Tak banyak orang yang mau bersikap baik padanya, hanya segelintir orang saja Hokage Ketiga contohnya. Pemimpin Komoha generasi Ketiga itu selalu baik dan memanjakannya dan selalu melindunginya, sangat berbeda sekali dengan Hokege Keempat yang selalu bersikap dingin dan tak pernah membelanya bahkan terlihat sangat membencinya. Yang berikutnya adalah keluarga Teuchi pemilik kedai ramen favoritnya, mereka selalu mengijinkan Naruto makan disana lain dengan toko atau kedai lainnya yang selalu melarang bahkan mengusirnya jika ia ingin belanja di tempat mereka.
    Walau ia diperlakukan sedemikian buruknya, ia tak pernah memendam dendam kepada mereka, walau terkadang hatinya sakit dan merasa tak terima atas perlakuan mereka, ia tetap tersenyum dan menganggap semuanya bukanlah apa-apa.
    Ia sadar apa yang menyebabkan seluruh warga Komoha membencinya. Ia tahu alasan apa yang membuatnya di katakana sebagai monster. Sudah sejak lama ia mengetahuinya, sejak tiga tahun lalu saat ia hampir mati ditangan para warga yang mengeroyoknya.
    .
    Flashback
    “MAU LARI KEMANA KAU MOSTER!” teriakan murka itu terus terdengar di telinga bocah mungil yang tengah berlari menjauhi kerumunan. Nafasnya tersengal, keringatnya bercucuran, beberapa bagian tubuhnya di penuhi luka memar dan beberapa ada yang mengalirkan darah.
    “JANGAN KABUR KAU! KAU HARUS MENERIMA HUKUMAN DARI KAMI ATAS PERBUATAN MU LIMA TAHUN LALU” suara lain kembali etrdengar, beberapa batu yang di lempar oleh rang-orang di belakangnya mengenai punggungnya dengan keras membuat tubuhnya sedikit kehilangan keseimbangan.
    “GARA-GARA KAU AKU KEHILANGAN IBUKU.” Suara seseorang yang cukup muda meneriakinya.
    “KEMBALIKAN AYAHKU!”
    “KEMBALIKAN SUAMIKU!”
    “LENYAP SAJA KAU MONSTER!”
    Teriakan amarah, cacian penuh penghiaan, kata-kata kasar penuh denam. Ia sudah sering mendapatkannya. Berbeda dengan kakaknya yang selalu medapatkan perlindungan dari sang ayah. Ia tak pernah sedikitpun mendapat bantuan. Bahkan tak tanggung-tanggung. Diantara kerumunan orang-orang yang mengejarnya juga tampak beberapa ninjanyang turut serta.
    Langkah dari kaki mungilnya tak memberi pertolongan banyak padanya. Para pengejarnya semakin dekat, sedangkan tubuhnya sudah mulai leleah. Salahkan tubuhnya yang lemah, salahkan tubuhnya yang tak memiliki aliran cakra yang normal. Kalau saja ia tidak lemah dan memiliki kekuatan tentu ia sudah berhasil kabur atau bahkan melawan balik. Namun bila ia melawan ia hanya semakin memebuat drinya dibenci.
    Terus berlari sekuat tenaga Naruto tak sadar bahwa telah memasuki wilayah pemukiman yang sepi dan berada di ujung gang yang buntu. Ia panic. Tak ada jalan keluar dan pengejarnya kini ada dihadapannya. Takkan ada yang menolongnya.
    “HAHAHA SEKARANG KAU AKAN MATI MONTER.”
    Tawa penuh akan rasa bangga akan sebuah tindak kejahatan itu berkumandang. Membuat tubuh ringkih Naruto bergetar ketakutan.
    “BUNUH DIA.”
    Ia berdoa pada tuhan untuk di berikan kesempatan untuk hidup, emmohon sebuah pertoongan namun sepertinya itu mustahil.
    “ENYAHKAN DIA DARI DESA KITA.”
    Desa ini juga desanya kan? Ia terlahir di desa ini. Ayahnya adalah pemimpin desa ini.
    “PEMBAWA SIAL.”
    Dia bukanlah pembaw sial. Tapi kenapa orang-orang itu masih saja mengatakan hal itu? bukan dia yang menyebabkan penyerangan monster lima tahun lalu. Bukan dia.
    “PEMBUNUH.”
    Dia bukan pembunuh. Bahkan saat itu dia belumlah mengenal dunia. Dia baru saja terlahir dari Rahim hangat milik ibunya saat itu. ia bahkan belum tau bagaimana rasanya di peluk hangat kedua orang tuanya.
    “MONSTER!.”
    Dia bukan moster. Bukan dia yang menyebabkan kehancuran itu. tapi kenapa semua menyalahkannya? Kenapa bukan kakakya? Kenepa hanya dia? Kenapa?
    Pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Tubuhnya di angkat tinggi lalu di benturkan ke tanah, darah mengalir dari setiap lukanya, pandangannya mulai memburam dan kepalanya mulai pusing. Ia tak dapat mendengar apapun, ia hanya melihat gambaran blur dari penglihatannya. Ia hanya melihat seseorang mendekatinya dengan sesuatu yang menyala merah dan tak lama ia merasakan panas membakar tubuhnya.
    Orang-orang desa membakarnya hidup-hidup.
    .
    .
    Perlahan membuka mata, yang Naruto lihat hanyalah kegelapan, namun tak berlangsung lama kegelapan itu mulai menipis memperlihatkan pemandangan yang ada dihadapannya. Sebuah ruangan besar dengan air yang menggenanng sebatas mata kaki. Di hadapannya tampak jejeran pilar-pilar besar membentuk penjara dengan kegelapan di dalamnya.
    Perlahan ia mendekati penjara raksasa itu. tubuhnya bergetar lemah dengan rasa sakit yang menjalar. Darah menetes perlaha dari ujung tubuhnya dan memar menghiasi warna kulianya yang seharusnya berwarna kecoklatan. Langkahnya terhenti saat merasa ia melihat sebuah pergerakan didalam penjara besar nan gelap itu. tubuhnya tegang namun tidak takut.
    Tak berselang lama apa yang ada di balik jeruji besi itu mulai terlihat. Sebuah gumpalan bulu yang bergerak-gerak lembut dan pelan. Membuatnya semakin tertarik untuk mendekat. “Bola bulu?” ucapnya polos dengan mata berbinar semakin mendekat memasuki penjara itu.
    APA MAKSUMU DENGAN BOLA BULU, BOCAH!?’ suara berat penuh geraman ia dengar dari arah yang dikiranya bola bulu itu, bergerak-gerak, membuatnya menghentikan langkahnya sejenak mengamati lebih teliti benda raksasa di depannya.
    ‘Bisa bicala!’ serunya kegirangan kini berlari mendekati benda itu, tak memperdulikan tubuhnya yang menjerit sakit.
    TENTU SAJA BISA! DAN AKU BUKAN BOLA BULU, BOCAH! AKU KYUUBI!’ seru bahluk itu lagi menunjukkan wujud besarnya. Seekor rubah orange dengan sembilan ekornya yang melambai-lambai lembut. Mata merah dengan pupil verticalnya memandang Naruto nyalang dengan seringai tajam memperlihatkan deretan giginya yang tajam.
    ‘Lubah! Ekolnya banyak!’ seruan itu terdengar lagi bersamaan dengan Naruto yang mendekat dan memeluk kaki depan si rubah yang mengaku Kyuubi itu. tak memeperdulikan perkatan dan tatapan tajam sang rubah besar.
    HEH! BOCAH SEPERTIMU TAK TAKUT PADA KU?’ pertanyaan itu terucap dari mulut si rubah bersamaan dengan tangan-kaki depan- nya yang mengankat Naruto lalu meletakkannya di moncongnya yang besar.
    ‘Takut?’ bertanya dengan pancaran mata polos memandang salah satu mata merah si rubah yang ada di hadapannya. “Tidak! Kau lembut!” serunya lagi memeluk moncong si rubah erat. ‘Hangat~’ lirihnya sambil memejamkan mata.
    AKU MONSTER YANG MENYEBABKAN KAU MENDERITA KAU TAHU!? AKU BISA SAJA MENYAKITIMU.’ Ucap mahluk itu memandang Naruto yang ada didepan matanya.
    ‘Hm~ Tapi Nalu cuka. Buluna hangat. Lembut. Nyaman.’ Ucap Naruto tak perduli, malah semakin menyamankan tubuhnya berbaring di moncong Kyuubi.
    BAGAIMANA BILA AKU MEMAKANMU SEKARANG?!’ Ancam Kyuubi lagi sambil menggelengkan kepalanya pelan.
    ‘Tak takut. Nalu kan kuat. Hehe.’ Bukannya terusik Naruto malah senang saat merasakan aliran angin yang berhembus disekitar tubuhnya.
    HEH! TUBUH DENGAN PENUH LUKA ITU KAU BILANG KUAT. KAU YANG SAMPAI BISA ADA DI SINI ITU MENUJUKKAN KALAU KAU ITU LEMAH!’ geram Kyuubi dengan dengusan kasar.
    ‘…’ tak ada jawaban cadel yang membalas ucapan dari Kyuubi, namun ia bisa merasakan tubuh mungil yang ada moncongnya itu bergetar pelan diiringi dengan isakan tangis. “Hiks..hiks..”
    HEH! CENGENG!’ ejek Kyuubi, merasa senang akhirnya bisa membuat bocah yang ada di moncongnya ketakutan. Namun tampaknya dia salah.
    ‘Hueeeeee~ hikss… hikss.. hueee~ ‘ tangisan kencang terdengar membuat telinga si rubah cukup berdung apalagi bocah yang ada di moncongnya bukannya bergetar ketakutan malah semakin memeluknya semakin erat.
    ‘huueee~ Cyuubi tak cuka cama Nalu~ hueeee~’tangisan itu semakin kencang membuat Kyuubi gerah sendiri mendengarnya.
    KENAPA KAU MENANGIS BOCAH!? BERHENTI MENANGIS!’ ujar Kyuubi merasa tergangggu dengan suara cempreng tangisan Naruto.
    ‘Cyuu gak cuka Nalu, hiks, Nalu gak punya teman. Cyuu gak mau temenan cama Nalu hueee~’ tangis itu makin kencang, Kyuubi hanya bisa menghela nafas pelan melihat kadaan bocah di moncongnya itu.
    Dengan pelan dia mengangkat tubuh Naruto lalu meletakkannya di telapak kaki kirinnya. Di husap kepala bersurai pirang jabrik namun lembut itu dengan jari tangan kanannya, perlahan tak ingin melukai si pirang kecil.
    SUDAH JANGAN MENANGIS. AKU HANYA BERBOHONG. KAU TIDAK CENGENG. KAU KUAT DAN AKU MAU MENJADI TEMANMU.’ Ucap Kyuubi menghapus titik kecil air mata yang mengalir di pipi Naruto perlahan dengan ujung kukunya.
    ‘Cungguh? Cyuu mau belteman cama Nalu?’ pertanyaa itu terucap dari bibir mungil yang kini telah berhenti bergetar itu. matanya berbinar penuh harap membuat Kyuubi harus menahan nafasnya sejenak menguasai diri dari tatapan penuh pesona bocah didepannya.
    IYA BOCAH. JANGAN MEMBUAT AKU MENGULANG PERKATAANKU.’ Ucap Kyuubi lagi kini menggelitiki perut Naruto dengan pelan.
    ‘hehehhahaha hen-hetikan Cyuu. Hahaha. Ne Cyuu pel-kenalkan nama Nalu Naluto Ujumaki. Nama Cyuu cyapa?’ dengan pandangan berbinar dan kepala yang di miringkan Naruto bertanya. Tampak sangat imut di mata Kyuubi.
    AKU SUDAH TAHU NAMAMU BOCAH! KAU BISA MEMANGGILKU KYUUBI ATAU KURAMA.’ Kata Kyuubi yang kini lagi-lagi memindahkan Naruto ke moncongnya.
    ‘Cyuubi Kulama? Kula-Kulama-nii!?’ seru Naruto senang. Akhirnya ia kini mendapatkan seorang teman yang akan selalu menemaninya bermain.
    HEH! TERSERAH KAU BOCAH.’
    ‘Yeyy! Kulama-nii. Nalu punya teman~ Nalu punya teman.’ Senandung kekanakan itu mengalun lembut memenuhi ruangan yang besar itu. namun harus terhenti karena Naruto meringis merasakan sakit di tubuhnya ‘Cakit~ hiks’
    JANGAN MENANGIS. AKAN KU SEMBUHKAN LUKAMU. SEKARANG KAU PULANGLAH.’
    ‘Kulama-nii akan belmain dengan Nalu nanti?’ tanya Naruto dengan pandangan mata yang memelas, seperti seekor kucing kehujanan yang minta di pungut.
    YA. SUATU SAAT NANTI.’  Dan perlahan cakra merah yang keluar perlahan dari permukaan moncong Kyuubi mulai menyelimuti tubuh Naruto. Memeberi kehangatan dan perasaan nyaman membuat Naruto tertidur lelap dengan tenangnya, semetara di kenyataan sana luka-luka dalam tubuh Naruto berangsur-angsur pulih.
    Flashback off
    .
    Sejak saat itu Naruto tahu bahwa didalam tubuhnya terdapat seekor rubah, ia tak perduli apa kata orang-orang menegnai rubah itu. baginya rubah itu adalah bola bulu yang lembut dan hangat. Teman pertama yang ia miliki.

    .
    TBC


  • Copyright © 2013 - Hyperdimension Neptunia

    My Fanfiction - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan